Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adnan Topan Husodo
Koordinator ICW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah bertubi-tubi dihadapkan pada kritik keras dari berbagai kalangan yang mempertanyakan komitmen Presiden Joko Widodo dalam upaya pemberantasan korupsi, muncullah respons dari Istana. Tanggapan itu memberikan narasi seolah-olah apa yang sedang berproses dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan agenda penguatan KPK. Respons itu kemudian digemakan oleh kalangan Istana, pendukung setia Jokowi, dan buzzer loyalis melalui serangkaian propaganda di media sosial. Mereka memberikan garis tebal atas pernyataan Presiden bahwa Istana berkomitmen memperkuat KPK, bukan memperlemah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan ini hendak mengelaborasi poin demi poin apa yang menjadi pidato dan arahan Presiden terhadap para menterinya yang sedang terlibat dalam pembahasan RUU KPK bersama Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, kemudian memberikan argumentasi atas poin-poin pidato tersebut. Ini hendak menunjukkan kepada publik apakah RUU KPK benar adanya penguatan sebagaimana diklaim DPR dan Istana ataukah semua itu hanyalah ilusi.
Kita bisa mulai dari poin yang berkaitan dengan eksistensi Dewan Pengawas. Dewan yang digagas DPR dan presiden ini tidak ada perbedaan signifikan. Pengurangan bobot persoalan hanya pada poin bahwa seleksi anggota Dewan dilakukan oleh panitia seleksi dan presiden. Dewan juga diisi oleh kalangan masyarakat dan akademikus. Hal ini didasari argumentasi bahwa presiden sekalipun diawasi, baik oleh Badan Pemeriksa Keuangan melalui audit maupun DPR.
Poin Istana ihwal Dewan Pengawas sebenarnya tetap dalam perangkap untuk mengatur penyadapan KPK karena penyadapan tetap harus melalui izin dari Dewan Pengawas. Publik tentu sudah sangat mafhum bahwa kekuatan penindakan KPK terletak pada wewenang menyadap sejak proses penyelidikan, melalui serangkaian tindakan hukum yang telah sesuai dengan prosedur. Jika potensi penyimpangan itu menjadi basis argumentasi untuk menginjeksi Dewan Pengawas, prosedur izin sebuah birokrasi akan menghambat kerja-kerja penindakan KPK. Jika kemudian Dewan Pengawas tidak mengizinkan, bukankah KPK tidak bisa meneruskan kerja hukumnya? Padahal serangkaian operasi tangkap tangan KPK selama ini lahir karena wewenang menyadap yang seutuhnya berada di bawah kendali KPK.
Argumentasi bahwa Dewan Pengawas merupakan bagian dari alat untuk membangun tata kelola KPK tidak didasari alasan faktual yang berkaitan dengan kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan pemimpin KPK. Faktanya, mekanisme pengawasan KPK sudah dibentuk. Selain kepemimpinan kolektif kolegial yang menjaga mekanisme checks and balances dalam pengambilan keputusan, KPK sudah setiap saat diawasi oleh DPR, BPK, dan masyarakat. Belum lagi instrumen pengawasan internal KPK yang efektif bekerja, misalnya pemimpin KPK pernah divonis melakukan pelanggaran kode etik-sesuatu yang tidak pernah terjadi pada pengawasan internal di lembaga negara atau institusi pemerintah lainnya.
Presiden beralasan bahwa usia Undang-Undang KPK sudah 17 tahun dan dianggap butuh penyegaran. Namun Presiden lupa bahwa ada banyak sekali undang-undang yang sudah lebih tua ketimbang Undang-Undang KPK, termasuk Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sendiri, yang secara substansial lebih membutuhkan revisi. Sebab, prinsip-prinsip pemberantasan korupsi internasional, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Konvensi Antikorupsi PBB dan telah kita ratifikasi, belum ada satu pun yang diadopsi oleh undang-undang tersebut. Alih-alih merevisi Undang-Undang KPK, banyak sekali instrumen hukum untuk pemberantasan korupsi yang belum dibahas, misalnya RUU Perampasan Aset atau RUU Pengaturan Transaksi Tunai.
Poin berikutnya adalah surat penghentian penyidikan perkara (SP3). Izinkan saya mengutip pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Gandjar Laksmana, yang menyebutkan bahwa jangan-jangan bukan SP3 yang dibutuhkan KPK, melainkan justru sebaliknya, yakni penegak hukum lain perlu dicabut wewenang SP3-nya supaya dalam kerja penegakan hukum, mereka lebih berhati-hati sehingga tidak mudah menjadikan orang sebagai tersangka lalu menggantungnya tanpa kejelasan status dalam kurun waktu yang panjang. Presiden lupa membongkar dapurnya sendiri, tempat kasus-kasus korupsi atau pidana lain di kejaksaan dan kepolisian banyak yang macet, tapi ada orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Waktu satu tahun usulan DPR dan dua tahun usulan pemerintah untuk mengeluarkan SP3 adalah setali tiga uang. Dengan acuan ini, KPK tidak akan pernah bisa menangani kasus korupsi yang kompleks, melibatkan aktor-aktor besar, dan berdimensi lintas negara karena untuk menanganinya butuh waktu yang lebih panjang. Kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang ditangani KPK sampai hari ini masih terus bergulir meskipun penyidikannya dimulai pada 2014. Hingga 2019, penanganan terhadap pelaku korupsi e-KTP masih terus diusut KPK. Dengan rentang waktu satu atau dua tahun, KPK hanya akan bisa menangani kasus kecil setingkat kepala dinas atau DPRD, atau paling banter kepala daerah.
Terakhir, Presiden ingin menjadikan pegawai, termasuk penyelidik dan penyidik KPK, sebagai aparatur sipil negara (ASN). Apa konsekuensinya? Jika penyelidik dan penyidik KPK adalah unsur polisi, kejaksaan, dan pejabat pegawai negeri sipil, kontrol atas penyelidik dan penyidik dilakukan oleh koordinator pengawas, yakni kepolisian. Ini adalah sesuatu yang terbalik dengan semangat UU KPK hari ini, saat KPK memiliki wewenang untuk melakukan supervisi dan koordinasi atas agenda pemberantasan korupsi oleh penegak hukum lain. PPNS juga secara faktual sangat buruk kinerjanya karena selama ini tidak bisa menangani perkara-perkara kejahatan besar. Dari semua poin yang diusulkan Istana sebagai bagian kerangka revisi UU KPK, penguatan KPK hanyalah ilusi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo