Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEWAN Perwakilan Rakyat sebaiknya menampik usul agar hakim ad hoc tak dimasukkan ke Rancangan Undang-Undang tentang Jabatan Hakim. Memenuhi keinginan ini akan menghambat upaya mengembangkan peradilan yang sehat, yakni peradilan yang transparan dan jujur sehingga menghasilkan putusan yang berkualitas.
Permintaan yang aneh itu muncul di tengah proses penggodokan RUU Jabatan Hakim di Badan Legislasi DPR. RUU inisiatif Dewan itu memuat 57 pasal yang mengatur soal hakim, dari urusan perekrutan, masa jabatan, hingga fasilitas yang mereka peroleh sebagai pejabat negara. Hakim ad hoc termasuk yang diatur. Di sinilah kemudian muncul penolakan terhadap keberadaan mereka.
Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dan Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) terang-terangan ingin menghapus keberadaan hakim ad hoc. Ikahi beranggotakan hakim pengadilan tingkat pertama hingga hakim agung. Adapun FDHI merupakan forum para hakim pengadilan tingkat pertama dan banding. Menurut Ikahi, keberadaan hakim ad hoc bertentangan dengan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, yang secara eksplisit hanya mengatur perihal hakim, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Bagi organisasi ini, peran hakim ad hoc juga sudah tak relevan, dengan alasan bahwa di antara mereka ada yang terlibat korupsi.
Adapun Forum Diskusi Hakim menganggap hakim ad hoc telah menutup jalan hakim karier untuk berkembang. Alasannya, mereka tak hanya menduduki jabatan di pengadilan tingkat pertama, seperti di pengadilan tindak pidana korupsi, tapi juga di pengadilan banding dan kasasi. Dalam draf RUU Jabatan Hakim yang dibuat oleh forum ini memang tak ada secuil pun frasa tentang hakim ad hoc.
Sikap Ikahi dan FDHI itu patut disesalkan. Kita tahu keberadaan hakim ad hoc merupakan amanah reformasi untuk memperbaiki kualitas pengadilan. Selama ini masyarakat banyak kecewa—juga berang—akibat putusan hakim yang tidak memihak rasa keadilan. Para koruptor, misalnya, tidak hanya divonis hukuman ringan, tapi banyak yang kemudian dibebaskan.
Salah satu bentuk reformasi peradilan kemudian memasukkan hakim ad hoc ke Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini mensyaratkan adanya dominasi hakim ad hoc—berasal dari akademikus atau praktisi hukum—dalam majelis hakim. Upaya pembenahan ini cukup berhasil. Kita tahu selama ini Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, khususnya di Jakarta, hampir tidak pernah membebaskan seorang pun terdakwa koruptor. Pada tingkat banding bahkan banyak koruptor yang diperberat hukumannya.
Dengan fakta itu, amat mengherankan jika sekarang organisasi seperti Ikahi justru terkesan kurang menyukai keberadaan hakim ad hoc. Jika Ikahi menginginkan peradilan yang bersih seperti yang kerap mereka dengungkan, bukankah organisasi ini seharusnya justru bekerja sama sebaik mungkin dengan hakim ad hoc?
Benar ada hakim ad hoc yang terlibat korupsi, tapi hal ini tidak bisa serta-merta dijadikan alasan untuk menohok semua hakim ad hoc, apalagi menuntut keberadaan mereka dibubarkan. Kalau ada yang masih perlu dibenahi, itu adalah sistem seleksi hakim ad hoc. Mereka harus melalui saringan yang ketat: tidak sekadar berilmu, tapi memiliki rekam jejak integritas yang teruji.
Keberadaan hakim ad hoc jelas tetap diperlukan. Tanpa hakim nonkarier, reformasi peradilan akan terhambat. Mafia peradilan akan semakin sulit diberantas karena tak ada lagi hakim dari luar yang kehadirannya diperlukan untuk mengikis praktek kotor itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo