Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pradjoto
Pengamat Perbankan
TIDAK ada kata yang lebih ampuh untuk melukiskan betapa kokohnya kedudukan Bank Indonesia (BI) dari campur tangan pemerintah kecuali ini: independensi. Begitu kokohnya kedudukan itu sampai-sampai kontroversi dijadikannya Gubernur BI Syahril Sabirin sebagai tersangka kasus Bank Bali diliputi perdebatan tentang ada atau tidak adanya intervensi pemerintah.
Sebagian kalangan menyebutkan bahwa ''permintaan"kalau tidak mau disebut ''tekanan"kepada Syahril Sabirin untuk mengundurkan diri dari jabatannya tak ada hubungannya dengan intervensi pemerintah. Argumennya, independensi harus ditafsirkan melalui perumusan yang diatur oleh Pasal 8 Undang-Undang No. 23/1999, yaitu terbatas pada konteks penetapan kebijakan moneter, kelancaran sistem pembayaran, dan tugas mengawasi lembaga perbankan. Dengan kata lain, intervensi telah diterjemahkan dalam konteks tugas dan tujuan Bank Indonesia an sich. Sepanjang pemerintah tidak ikut campur dalam urusan kebijakan moneter, misalnya, pembicaraan tentang intervensi menjadi tidak relevan. Sementara itu, pihak yang menyebutkan adanya intervensi pun melihat duduk persoalan dari sudut yang tak kalah sempitnya. Pedoman utama kelompok ini adalah pasal-pasal yang mengisyaratkan kemandirian Dewan Gubernur BI, utamanya pasal 48 undang-undang tersebut, yang merumuskan secara limitatif mekanisme berhentinya Dewan Gubernur BI dari masa jabatannya, yaitu mengundurkan diri, terbukti melakukan tindak pidana, dan berhalangan tetap. Kelemahan argumen kelompok ini mengidentifikasikan permintaan pengunduran diri sebagai intervensi terhadap lembaga moneter. Padahal, mekanisme ''mengundurkan diri" adalah mekanisme yang dibenarkan oleh pasal 48 undang-undang itu. Jadi, meminta seorang Gubernur BI mengundurkan diri sama sekali tidak harus berarti adanya intervensi terhadap Bank Indonesia. Apa pun tafsirannya, Pasal 4 Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia memang mengisyaratkan kemandirian lembaga tersebut. Yaitu, dengan memberikan status sebagai lembaga negara yang bebas dari campur tangan pemerintah. Independensi BI ini sering kali dibaurkan, seolah-olah BI adalah bentuk samar-samar ''negara dalam negara". Padahal, yang dimaksudkan sebagai independensi tidak dapat dipisahkan dari kedudukan BI yang unik, dilihat dari konfigurasi ketatanegaraan. Yaitu, bahwa BI tidak dapat dianggap sejajar dengan lembaga negara seperti DPR, MA, BPK, ataupun presiden sendiri. Dan sementara itu, BI juga tidak mungkin disejajarkan dengan departemen mana pun karena BI memang berada di luar struktur pemerintahan. Pertanyaannya kemudian, apakah kedudukan BI yang unik seperti itu dimaksudkan agar BI dapat memiliki otoritas yang penuh guna menjalankan fungsinya sebagai pengatur dan penjaga lalu lintas moneter, atau sekadar memberikan perbedaan yang esensial kedudukan bank sentral di sebuah negara? Siapa saja yang membaca Undang-Undang No. 23/1999 tentu tidak ragu untuk mengatakan bahwa kedudukan yang unik tadi diadakan semata-mata agar fungsi stabilitas moneter dapat dijalankan oleh BI tanpa adanya ''terjangan" dari pihak pemerintah. Karena itu, yang disebutkan sebagai ''tekanan" oleh pemerintah sejak Desember 1999, yang dilukiskan Syahril Sabirin melalui catatan kronologisnya, menjadi penting untuk dikaji. Dihadapkan pada pilihan antara mundur dan menjadi tersangka tentulah sama sekali bukan hal yang menyenangkan. Apalagi, ada beberapa kejadian penting yang mengiringi aroma ''tekanan" tadi, yang menyebabkan sodoran pilihan tersebut lebih keras sifatnya. Salah satu kejadian itu adalah permintaan presiden agar bank milik negara melepaskan cadangan dolarnya untuk membantu tingkat stabilitas rupiah yang sudah telanjur goyah. Belum lagi ditambah keributan soal fit-and-proper test yang dilakukan oleh BI. Mereka yang tidak memercayai catatan kronologis tadi pasti akan memiliki keyakinan yang komplet bahwa Pasal 8 Undang-Undang No. 23/1999 sama sekali tidak diutak-atik oleh pemerintah. Sedangkan mereka yang mendukung ketentuan pasal 48 undang-undang tersebut tentu akan geram setengah mati. Sebab, yang disebut mengundurkan diri adalah sebuah keadaan yang seharusnya identik dengan keinginan yang hanya boleh datang secara murni dari pihak yang hendak mengundurkan diri, dan bukannya datang dari suasana hati yang gundah-gulana karena ditekan habis oleh pihak yang tidak menghendakinya. Komplikasi yang tidak perlu seperti inilah yang sering kali mengherankan. Sebab, diukur dengan cara apa saja, independensi untuk menggerakkan makna pasal 8 tersebut sukar dicapai. Itu jika mekanisme penempatan anggota Dewan Gubernur BI tidak terbebaskan dari kesucian Pasal 41 Undang-Undang No. 23/1999, yang merumuskan mekanisme pengangkatan Gubernur dan Deputi Gubernur BI. Memang benar, pasal ini mengisyaratkan bahwa pengusulan dan pengangkatan Gubernur BI dilakukan oleh presiden setelah memperoleh persetujuan DPR. Tapi, kedudukan presiden dalam konteks ini sama sekali bukan kedudukan presiden sebagai kepala pemerintah, melainkan dalam fungsinya sebagai kepala negara. Sepanjang penempatan anggota Dewan Gubernur BI dilakukan melalui mekanisme perancangan untuk memasukkan kehendak pemerintah agar dapat mengendalikannya, kehendak inilah yang akan memberikan hambatan besar bagi BI untuk menggerakkan kekuatan independensinya seperti yang, antara lain, dirumuskan oleh Pasal 8 Undang-Undang No. 23/1999 itu. Dengan kata lain, pengukuran ada atau tidaknya intervensi terhadap Bank Indonesia sukar dilakukan jika pedoman yang digunakan adalah pasal-pasal tertentu dari undang-undang. Soalnya, undang-undang memang sukar dibaca dan dipahami jika kaitan antarpasal yang memiliki makna yang beragam itu tidak disandingkan dengan falsafah yang mendasari dilahirkannya undang-undang itu sendiri. Dalam hal Undang-Undang No. 23/1999 itu, falsafahnya adalah independensi. Semakin sempit penafsiran terhadap independensi, akan semakin lebar wilayah yang disediakan bagi bekerjanya dinamika kegiatan intervensi terhadap Bank Indonesia. Itulah korelasinya. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |