Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luhut M.P. Pangaribuan
Praktisi hukum
SEJAK kemerdekaan, belum pernah dibuat suatu pengkajian terhadap sistem peradilan yang sesuai dengan bentuk masyarakat dan sistem kenegaraan kita. Sistem peradilan yang digunakan dewasa ini hanyalah mengambil alih dari peradilan yang digunakan pada zaman kolonial. Dari sistem itu, dengan sedikit tambal sulam, jadilah sistem peradilan yang kita gunakan saat ini. Karena itu, sangat logis bila banyak keluhan terhadap kinerja peradilan, sistemnya, dan aparaturnya. Sesungguhnya, masalah pada aparatur peradilan adalah bagian terakhir dari hasil total episode kebobrokan peradilan kita.
Dikaitkan dengan masalah yang dihadapi dewasa ini untuk penyelesaian kasus-kasus KKN, jawabannya adalah harus dibangun sistem peradilan yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat kitatentu dengan mempertimbangkan perkembangan dari pengalaman kita menggunakan sistem yang sudah ada. Artinya, jawaban yang hendak diberikan adalah yang bersifat jangka panjang. Untuk masalah jangka pendek, lebih banyak harapan dapat digantungkan pada pengambil kebijakan dalam instansi penegak hukum itu, misalnya mengangkat hakim ad hoc, memindahkan hakim-hakim dari Jakarta ke daerah, dan membentuk tim gabungan penyidik kasus korupsi. Tapi kebutuhan jangka pendek itu hanya temporer. Sebab, selama belum ada perubahan yang mendasar dalam lembaga penegakan hukum itu, sangat sulit mengharapkan efektifnya peradilan kita. Secara umum, ada dua sistem peradilan yang dikenal, yaitu yang menggunakan orang awam dalam persidangan dan yang tidak menggunakan orang awam dalam persidangannya. Sistem yang pertama digunakan di negara yang menggunakan sistem common law dan yang terakhir dipakai di negara yang menggunakan enacted law. Dalam sistem common law, hukum itu dibuat dari hari ke hari dan tidak ditulis, sementara dalam sistem enacted law, yang juga disebut dengan civil law system, hukum direncanakan dan ditulis. Dalam banyak kasus, enacted law sering telah tertinggal dengan perubahan-perubahan yang cepat sehingga menimbulkan problem hukum yang sangat serius, sementara yurisprudensi yang diharapkan untuk menutupi kekurangan itu tidak berjalan karena mekanisme sistemnya hampir tidak mungkin berjalan. Konsisten dengan sistem enacted law, pengadilan kita hanya diduduki oleh orang yang dididik untuk menjadi hakim. Barangkali karena keterbatasan mereka, ketidakpuasan tinggi sekali. Akibatnya, penggunaan upaya hukum (banding atau kasasi) hampir seratus persen. Itu selain karena kemungkinan moral, mungkin juga karena kecenderungan birokratisasi dari hakim tersebut. Adanya kongesti perkara di pengadilan kita, khususnya di Mahkamah Agung (MA), juga adalah karena sistem yang demikian ini. Karena itu, andaikan akan dilakukan pembenahan atas sistem peradilan kita, baik dipertimbangkan masuknya orang awam ini bersama-sama dengan redefenisi dari peranan MA dan fungsi kasasi. Dua-duanya sekaligus dilakukan. Dengan begitu, perbaikan pengadilan kita bisa diharapkan dalam jangka panjang. Kita tidak semata-mata reaktif atas kasus korupsi di peradilan, tapi mendekatinya secara konseptual sekaligus. Pada dasarnya, secara sektoral kita telah mengenal orang awam dalam pengadilan kita, misalnya dalam pengadilan tata usaha negara dan peradilan niaga. Orang awam itu adalah hakim awam (lay judges). Dia menjadi bagian dari majelis hakim. Sebab, kita menyatukan jury dan hakim dalam satu majelis. Karena munculnya di sektor-sektor tertentu, sifatnya belum baku. Apalagi, sekalipun secara resmi sudah ada dalam undang-undang sektoral, dalam praktek belum pernah dilaksanakan. Bahkan, di peradilan niaga yang hakim awamnya telah diangkat dengan keputusan presiden (keppres), pengadilannya belum menggunakannya dengan alasan yang sifatnya teknis. Karena itu, bila orang awam dalam pengadilan kita diterima, ini perlu dibakukan. Konkretnya, hadirnya orang awam dalam peradilan kita perlu dijadikan asas dalam peradilan. Dengan masuknya orang awam, kemungkinan derajat kepuasan pada pengadilan akan semakin tinggi. Pada saat yang sama, penggunaan upaya hukum akan semakin rendah. Mungkin akan ada kritik tentang biaya yang akan sangat mahal. Namun, bila masuknya orang awam di pengadilan ini dijadikan opsi, soal biaya tidak menjadi persoalan. Untuk hal tertentu, beban bisa ditanggung oleh yang memilih. Lagi pula, biayanya akan bisa lebih murah bila dibandingkan dengan biaya-biaya yang tidak resmi. Dengan kata lain, bila para pihak tidak banyak menggunakan upaya hukum, secara teoretis biayanya relatif akan lebih murah. Sebagai akibat lebih lanjut, MA sebagai judex jurist akan semakin efektif menjalankan peranannya. Dalam fungsi menangani perkara, mereka punya cukup waktu untuk mengkaji lebih dalam masalahnya sehingga hukum-hukum (judge made law) itu mendapat peranan dalam pembangunan hukum. Dengan kongesti perkara seperti sekarang, tidak akan mungkin MA punya waktu untuk melakukan pengkajian apa pun. Pada saat yang sama, MA akan lebih produktif memberikan nasihat kepada lembaga tinggi negara yang lain. Dengan begitu, penggunaan hukum sebagai pembenaran kekuasaan semata-mata akan bisa dihindarkan. Masuknya orang awam itu secara teoretis bisa dalam bentuk juri atau majelis dengan campuran awam (lay judges). Semuanya dapat dipilih oleh para pihak. Barangkali lebih cenderung pilihan yang terakhir, sekalipun pada dasarnya tidak tertutup dua-duanya sekaligus. Sebab, pada kenyataannya, kita sudah menerima hakim ad hoc. Selain itu, pada saat yang sama, redefinisi dari fungsi kasasi perlu dilakukan. Bukan ajaran hak asasi manusia yang menyatakan semua perkara harus dapat sampai di MA. Ajaran hak asasi manusia adalah setiap orang harus mempunyai kesempatan membela diri dan mengajukan banding atas putusan pengadilan. Setelah itu, terserah kepada sistem yang akan dianut. Karena itu, mengatur perkara yang mendapat kasasi merupakan sesuatu yang harus dilakukan. Dan MA bisa lebih diarahkan sebagai simbol dari supremasi hukum. Artinya, hanya perkara yang mengandung aspek pertanyaan hukum dalam perspektif negara kesatuan yang merupakan kompetensinya. Di luar itu, perkara cukup diselesaikan di tingkat peradilan ulangan (tinggi) saja. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |