Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
M. Sadli
Pengamat ekonomi
MULA-MULA banyak kaum muda dan tua tenggelam dalam euforia setelah Gus Dur terpilih menjadi presiden pada Oktober 1999. Ia pemimpin gerakan LSM yang ingin merombak status quo yang ditinggalkan Soeharto dan menegakkan demokrasi partisipatif.
Disadari, pemerintahnya tidak ideal karena merupakan hasil dagang sapi antara pemimpin partai-partai besar. Akan tetapi, duo Gus Dur dan Megawati dipandang sebagai alternatif pemimpin yang paling baik. Golkar mempunyai stigma Orde Baru. Walaupun menang pemilu sebagai partai nomor dua, tidak wajar Golkar memimpin pemerintah. Amien Rais juga bukan tokoh yang bisa memberi rasa aman bagi orang di luar partainya. Gus Dur bisa. Ketika pemerintahan Gus Dur berusia 100 hari, prospek ekonomi baik, inflasi rendah sekitar 5 persen setahun, kurs rupiah sekitar Rp 7.000 per dolar AS, dan ekonomi mulai pulih karena didorong oleh konsumsi. Orang rela memberikan angka 7 atau B pada rapor kinerja pemerintah. Dewasa ini, setelah delapan bulan, kurs rupiah di atas Rp 8.000 dan tidak stabil. Inflasi meningkat, pasti di atas 5 persen setahun. Kepercayaan pasar sangat tipis. Maka, angka rapor cenderung menjadi merah. Di bidang politik, Gus Dur berhasil menyelesaikan masalah kedudukan politik TNI ke arah supremasi Undang-Undang Dasar dan pemerintah sipil. Tetapi masalah Ambon, Aceh, dan konflik horizontal lain belum bisa diselesaikan, dan semi-anarki merajalela. Di lain pihak ada kebebasan pers, dan pembentukan organisasi politik, perburuhan, dan sosial bebas sekali. Dewasa ini, masalah Ambon dan Aceh belum juga terselesaikan. Korban kekerasan di Maluku masih berjatuhan dan menjalar ke Sulawesi (Poso). Untuk masalah ini belum ditemukan jalan keluar, juga belum ada "provokator" yang tertangkap atau ditangkap, walaupun teori konspirasi semakin populer bahwa pendukung mantan Presiden Soeharto punya banyak uang dan ngobok-obok situasi di daerah. Di Aceh, korban kekerasan masih jatuh setelah diberlakukan mufakat "jeda kemanusiaan" yang ditandatangani di Jenewa, yang merupakan hasil inisiatif Gus Dur. Kongres rakyat Papua, yang mencanangkan Papua merdeka, tidak mengurangi ancaman disintegrasi RI. Sementara ini, pemerintah berhasil menghalau dukungan luar negeri bagi kemerdekaan Aceh dan Papua. Akan tetapi, jaminan ini hanya datang dari pemerintah. Kalau LSM di negara-negara Barat semakin mendukung gerakan kemerdekaan ini, dan selama pemerintah RI tidak berhasil memberikan alternatif (otonomi) yang menarik, adalah soal waktu saja sebelum dukungan pemerintah negara-negara Barat kepada pemerintah RI akan melemah. Sampai sekarang, tawaran RI yang proaktif kepada Aceh dan Papua tidak kentara. Dan karena pembentukan konsensus politik di Jakarta semakin sulit, apa saja yang bisa ditawarkan oleh pemerintahan Gus Dur pasti tidak akan lekas didukung oleh elite politik. Trauma hasil inisiatif Habibie mengenai Timor Timur akan menghantuinya. Elite politik berusia sekitar 60-an yang masih merasa terikat mutlak pada UUD 1945 ini tidak akan mampu menyelesaikan masalah Aceh dan Papua karena menolak gagasan federalisme, lebih-lebih bentuk seperti "commonwealth". Pada Januari 2000, kesimpulan umum adalah 100 hari terlalu pendek untuk menjatuhkan vonis kepada pemerintahan Gus Dur. Apakah setelah 250 hari pertimbangan dan toleransi ini masih dipertahankan? Ya, tetapi alasannya bergeser. Dulu dianggap waktunya terlalu pendek. Sekarang orang tak mampu mencari alternatif yang lebih baik. Andaikata Gus Dur diganti pada Agustus nanti, pertama, itu akan membuat preseden yang buruk dan kita akan mengulangi praktek politik zaman Republik di Yogya. Kedua, alternatifnya apa dan siapa? Sementara itu, ada kecenderungan orang putus asa memikirkan pemerintahan Gus Dur ini. Negara sekarang diperintah oleh elite LSM. Gerakan LSM itu cita-citanya luhur dan mulia, akan tetapi mereka "tidak bisa memerintah negara". Ketika kemarin HUT ke-70 Emil Salim dirayakan secara meriah, dengan banyak teman Emil dari kalangan LSM, Emil nyeletuk: "Teman-teman LSM itu belum apa-apa sudah menyatakan tidak." Gerakan LSM sering merupakan advokasi reformasi radikal yang mutlak menolak status quo. Ketika menghadapi musuh bersama, rezim Soeharto, mereka bersatu. Sekarang musuh bersama itu tidak ada lagi. Akibatnya, mereka kehilangan pegangan. Sukar bersatu untuk "memerintah" karena "the art of government is to compromise". Gus Dur memerintah sering sebagai "one-man-show". Beberapa menteri, antara lain tokoh LSM, suka jalan sendiri. Lalu, Gus Dur lupa bahwa ia dan para menterinya merupakan satu pemerintahan. Sering ia tak suka sama menterinya, dan sikap itu tidak disembunyikannya. Jadi, yang mana pemerintahnya? Gus Dur-kah, kabinetkah, menterikah? Belakangan ini wartawan Dow Jones, Grainne McCarthy, menulis mengenai Menteri Koordinator Kwik Kian Gie. Ketika Kwik ngomong di Washington, D.C., pemerintah di Jakarta ia sebut "mereka" (third person). Jadi, sesekali Kwik merasa dirinya pemerintah, tapi lain kali "berlawanan". Kesannya, Kwik sebetulnya sudah mau mundur tetapi ditahan Megawati. John Dodsworth, Kepala IMF di Jakarta, mungkin tak bisa menahan frustrasinya. Pada suatu pertemuan di Business Forum Luncheon di Mercantile Club, Jakarta, ia mengeluh bahwa "pemerintah sangat tak konsisten, dan kemampuan pemerintah sangat terbatas mengimplementasikan program pemulihan ekonomi yang berjalan lambat". Tuturnya: "Sangat banyak spekulasi dan isu tidak jelas dalam kebijakan. Kebijakan sangat penting yang belum diimplementasikan sudah tersebar ke pers." Ungkapan Dodsworth, orang Inggris yang biasanya sangat hati-hati, menjadi pertanda buruk. Pada Juni ini, review IMF mengenai hasil pelaksanaan letter of intent (LoI) akan dimulai, dan pada bulan Juli harus ada LoI yang baru. Kalau pada Juli ada krisis dengan IMF lagi, sidang MPR bulan Agustus bisa menjadi malapetaka. Gus Dur juga tampak tak mau atau tak mampu mengubah sikapnya. Ia punya obsesi mencopot pejabat dan menggantinya dengan "orangnya". Maka, kalaupun ia diberi kesempatan mengadakan reshuffle kabinet, hasilnya pasti akan mengundang kontroversi politik. Sementara itu, kekaguman orang kepadanya sudah banyak merosot. Ia akan bertahan hanya karena orang lebih takut kepada alternatifnya. Tetapi, akhir-akhirnya mereka juga akan bilang: "Siapa takut? Kok, repot-repot?" Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |