Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEPAS salat subuh, Arman membuka tokonya di muka gerbang Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, Sabtu dua pekan lalu. Terkejut dia melihat banyak polisi berada di depan tokonya. "Mereka menyuruh saya tutup dan jangan keluar," katanya.
Dari lantai dua tokonya, Arman menyaksikan sekitar 300 polisi sudah berbaris rapi di depan gerbang pelabuhan. Ratusan polisi menggunakan tameng dan pentungan. Di belakang mereka, polisi lain dalam jumlah yang sama membawa senjata api. Arman merasakan ketegangan di pelabuhan pagi itu.
Di area pelabuhan, sudah lima hari ratusan penduduk menginap. Mereka berasal dari Kecamatan Sape, Kecamatan Lambu, dan Kecamatan Langgudu. Pendudukan pelabuhan penghubung Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur itu dilakukan agar Bupati Bima Ferry Zulkarnain mencabut surat izin usaha pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara. Perusahaan itu memperoleh izin penambangan pada lahan seluas 24.980 hektare di Lambu.
Sejumlah saksi mata yang ditemui Tempo mengatakan Kepala Kepolisian Resor Kota Bima Ajun Komisaris Besar Kumbul K.S. meminta sejumlah perwakilan pengunjuk rasa membubarkan pendudukan. "Setelah itu, Kumbul memerintahkan masyarakat melepas senjata tajam," kata Ridho, koordinator lapangan Front Rakyat Antitambang. Sekitar 300 penduduk di pelabuhan menaati perintah itu.
Menurut Ridho, Kumbul kemudian memerintahkan pasukannya maju sepuluh langkah dan dua langkah. Jarak polisi dengan demonstran hanya sekitar lima meter. Sejumlah polisi berpakaian preman kemudian menangkap Syahbuddin, satu tokoh unjuk rasa, dan membawanya keluar. Polisi juga menarik Anshari, yang berdiri di atas mobil pengangkut pengeras suara. Anshari, yang mencoba menenangkan penduduk, terjatuh. Tokoh pengunjuk rasa lain, Hasanuddin, dipukul dengan senapan hingga pingsan dan dibawa ke luar dermaga.
Tiba-tiba, mobil meriam air di gerbang pelabuhan menyemburkan air ke atas. Tak lama, seperti dikatakan Ridho dan Muhdar, pemuda Lambu yang juga berunjuk rasa, Kumbul memerintahkan pasukan menembak. Dor! Rentetan tembakan mengarah ke para pengunjuk rasa. Masyarakat lari ketakutan. "Ada yang ke dalam ruang tunggu, ke luar gerbang, ada juga yang nyemplung ke laut," ujar Muhdar.
Muhdar berlari ke arah tambak garam bersama rekannya, Arif Rahman, 19 tahun, dan Syaiful, 17 tahun. "Semakin kita lari, justru ditembak." Tiba-tiba, Arif terjatuh. Peluru menembus pinggang kanan hingga ketiak kirinya. Syaiful, yang berlari di belakang Arif, mencoba membantunya. Nahas menimpa Syaiful. Dadanya tertembak. Ia tersungkur. Tubuh keduanya belakangan ditemukan di Kampung Jala, sekitar 700 meter dari pelaÂbuhan.
Di pelabuhan, rentetan tembakan tak kunjung berhenti. Ridwansyah, 19 tahun, pengunjuk rasa asal Desa Sumi, Kecamatan Lambu, ketakutan di ruang tunggu. Ia lalu keluar sambil membungkuk dan mengangkat tangan. "Saya bilang, ampun…," ujarnya. Buggg! Tubuhnya dipukul polisi. Sol sepatu polisi menghajar wajahnya. Sudah terjatuh, tubuh Ridwan diinjak-injak dua polisi.
Ridwan kemudian diseret personel Brigade Mobil ke luar pelabuhan. "Ada satu polisi datang, terus menembak saya." Paha kanan Ridwan berlubang. Polisi berpesan kepadanya, "Tunggu di sini. Nanti ada mobil datang." Tapi ia melarikan diri dengan menerobos tambak garam. Orang tuanya membawa Ridwan ke puskesmas. "Kata dokter, pelurunya karet," ujar Nggede, ayah Ridwan.
Sekitar pukul sembilan, kebrutalan itu berhenti. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan tiga orang tewas. Satu lagi, Arrifuddin Rahman, meninggal di rumahnya. Penyebab kematiannya belum diketahui pasti. "Ada luka di bagian pantat, dan tubuhnya penuh lumpur," kata anggota Komisi, Ridha Saleh.
Sedangkan polisi ngotot jumlah korban hanya dua orang. "Jika ada penambahan korban, Kapolda setempat pasti melaporkan," kata Kepala Divisi Humas Markas Besar Kepolisian Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution kepada Ananda Teresia dari Tempo.
ENAM lembar rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ditujukan ke Bupati Bima, Kepala Kepolisian Nusa Tenggara Barat, dan Direktur PT Sumber Mineral Nusantara. Dikirim pada 9 November lalu, rekomendasi yang ditandatangani komisioner Kabul Supriyadhie itu meminta Bupati Ferry Zulkarnain mempertimbangkan penghentian sementara kegiatan Sumber Mineral Nusantara untuk menghindari konflik.
Rekomendasi dikeluarkan setelah Komisi menemukan fakta kasus pembakaran kantor Camat Lambu pada 10 Februari 2011. Warga di 12 desa di Kecamatan Lambu, Kecamatan Langgudu, dan Kecamatan Sape menilai tak ada upaya serius pemerintah daerah memasyarakatkan usaha pertambangan. Masyarakat baru mengetahui adanya eksplorasi pertambangan pada Oktober 2010. Padahal surat izin eksplorasi dikeluarkan pada 28 April 2010.
Penduduk setempat khawatir eksplorasi tambang bakal mencemarkan lingkungan. Padahal kehidupan penduduk bersumber pada peternakan dan pertanian. Pada 6 Desember, Komisi juga meminta Kepolisian Resor Bima menangguhkan penahanan Adi Supriyadi, koordinator lapangan aksi unjuk rasa di kantor Camat Lambu pada 10 Februari. Adi ditahan awal Desember.
Ketua Komisi Ifdhal Kasim mengatakan tak ada tanggapan dari pejabat yang disurati. "Kalau rekomendasi kami diikuti, pasti konflik tak membesar," kata Ifdhal.
Ketua Wahana Lingkungan Hidup Nusa Tenggara Barat Ali Isman mengatakan Sumber Mineral memang baru menjalankan tahap eksplorasi, belum sampai menambang. Tapi benih konflik sudah muncul menjelang akhir 2010. Sayangnya, pemerintah daerah seperti tak peduli. Pembakaran kantor Camat Lambu salah satu buktinya. "Masyarakat kecewa karena Bupati tak datang dalam acara dialog."
Kekecewaan masyarakat kian besar. Mereka sudah mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bima, tapi tak membawa hasil. Menurut Ali Isman, mereka kemudian berunjuk rasa dengan menduduki Pelabuhan Sape. Pelabuhan dipilih karena menjadi salah satu tempat arus barang dan orang dari Nusa Tenggara Barat ke Nusa Tenggara Timur. "Mereka hanya ingin tuntutan mereka dipenuhi," kata Ali.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ridha Saleh, yang menginvestigasi konflik di Sape, menyatakan terjadi pelanggaran hak asasi dalam konflik ini. Penyebabnya, polisi tak mematuhi prosedur penanganan konflik. Ia mencontohkan, seharusnya unjuk rasa cukup diatasi oleh kesatuan Pengendalian Massa. Nyatanya, polisi sampai menggunakan jasa Brigade Mobil.
Menurut Ridha, polisi menjaga lima titik. Di setiap titik, "Ada personel Brimob," katanya. Bahkan, di pelabuhan, pasukan elite Korps Bhayangkara itu juga langsung berhaÂdapan dengan demonstran. Polisi memang seperti siap tempur. Dari lantai dua tokonya, Arman mengatakan melihat sejumlah penembak jitu bersiaga di atas bangunan setengah jadi di depan pelabuhÂan.
Pelanggaran prosedur juga terlihat dari senjata yang digunakan. Seharusnya, kata Ridha, polisi cukup menggunakan meriam air atau gas air mata untuk membubarkan massa. "Nyatanya, meriam air menembak ke atas, bukan ke warga."
Parahnya, polisi masih terus menghajar demonstran yang menyerah. Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menunjukkan tak ada perlawanan sama sekali dari pengunjuk rasa. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar, yang juga menelusuri kasus ini, menemukan fakta bahwa polisi menyiksa pengunjuk rasa muda, berusia 14-17 tahun. "Ada yang disiksa dengan digebuk, ditendang, bahkan beberapa terkena tembakan," kata Haris.
Lalu siapa yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi di Sape? Ridha Saleh mengatakan belum bisa memastikan perintah penembakan berasal dari siapa. Tapi kendali saat itu memang dipegang Kepala Kepolisian Resor Bima Ajun Komisaris Besar Kumbul. "Dia yang memerintahkan satuan Dalmas mundur dan memerintahkan Brimob maju," ujar Ridha.
Kumbul tak menanggapi permintaan wawancara Tempo. Ia tak mengangkat telepon dan tak membalas pesan pendek yang dikirim. Bupati Bima Ferry Zulkarnain juga tak memberi tanggapan. Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian Komisaris Besar Boy Rafli Amar tak mau berkomentar banyak atas temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. "Kami mengapresiasi temuan itu. Silakan Komisi Nasional mengklarifikasinya dengan petugas terkait dari tingkat bawah sampai atas," kata Boy Rafli.
Menurut Boy, kepolisian juga telah menerjunkan tim pengawas internal untuk memeriksa personel yang bertugas saat konflik terjadi. "Hasilnya akan dianalisis. Jika sudah selesai, akan kami sampaikan."
RASA takut masih menyandera Ali Saleh. Lelaki separuh abad itu tak berani mendatangi rumah sakit atau puskesmas. Warga Desa Sumi, Kecamatan Lambu, ini sempat mengikuti dua hari unjuk rasa di pelabuhan. Malang, rusuk kanannya ditembak dari jarak lima meter oleh polisi.
Ali berlari ke perbukitan di sekitar desanya. Di sana ia bersembunyi. "Saya takut ditangkap," ujarnya. Ali nekat mengorek lukanya untuk mengambil peluru di rusuk kanannya. Ditemui Kamis pekan lalu, Ali terus merasa sesak di bagian dada. Akhirnya, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Haris Azhar membawanya ke rumah sakit. Kata Haris, "Kebrutalan yang dialami Ali jelas pelanggaran hak asasi manusia."
Pramono (Jakarta), Febriyan (Bima)
Pagi Berdarah di Tepi Dermaga
Tak mau tanah dan air tercemar, masyarakat tiga kecamatan di Bima, Nusa Tenggara Barat, menuntut pencabutan izin pertambangan PT Sumber Mineral Nusantara. Tuntutan sehari sebelum Natal itu dihadapi dengan tembakan.
Pukul 00.00
Beredar kabar, polisi akan menyerang pengunjuk rasa yang menduduki Pelabuhan Sape sejak 19 Desember.
Pukul 03.00
Terdengar tiga kali letusan senjata.
Pukul 04.00
Pengunjuk rasa meninggalkan pelabuhan. Tersisa sekitar 300 orang.
Pukul 05.30
Polisi bersiap di depan pompa bensin, sekitar 300 meter dari gerbang Pelabuhan Sape. Polisi juga membuat barikade di tiga titik: perempatan menuju pelabuhan, Kecamatan Lambu, dan Kampung Bugis. Masyarakat Lambu datang, tapi dihadang barikade.
Pukul 06.00
Polisi masuk ke Pelabuhan Sape. Kepala Kepolisian Resor Bima Ajun Komisaris Besar Kumbul K.S. bernegosiasi lagi dengan Hasanuddin, pemimpin demonstran.
Pukul 06.30-07.00
- Pengunjuk rasa berkumpul di depan gerbang dermaga. Kepala Polres Bima Kumbul meminta demonstran meletakkan senjata tajam. Terdengar perintah agar personel polisi maju mendekati pengunjuk rasa. Jarak mereka hanya sekitar 5 meter.
- Polisi menangkap Syahbuddin, tokoh demonstran, dan Anshari, yang berdiri di atas mobil pengangkut pengeras suara. Hasanuddin dipukul dengan senapan hingga pingsan.
- Mobil meriam air menyemprotkan air ke atas selama beberapa detik. Tembakan ke arah demonstran dimulai. Pengunjuk rasa berlarian. Sebagian bersembunyi di belakang aula di selatan dermaga. Ada juga yang nyebur ke laut dan lari ke luar gerbang.
- Masyarakat yang tertahan blokade polisi berlari menuju pelabuhan dengan menerobos tambak garam di sekitar pelabuhan. Tapi mereka kembali ke arah Lambu setelah melihat beberapa orang jatuh kena tembakan.
- Tembakan di pelabuhan berlangsung lebih dari 30 menit. Sebanyak 47 demonstran dibawa ke kantor polisi, puskesmas, dan Rumah Sakit Bima.
08.00
Masyarakat membalas aksi polisi dengan membakar gedung pemerintahan, termasuk pos polisi Lambu di Desa Sumi. Setidaknya 40 gedung pemerintahan dirusak. Begitu juga rumah penduduk propenambangan. Jalan masuk menuju Lambu diblokade dengan pohon besar dan bebatuan.
Pukul 09.00
Kekerasan mereda. Dua penduduk ditemukan dalam keadaan tewas tertembak di Kampung Jala, sekitar 700 meter dari pelabuhan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan satu korban lagi meninggal di rumahnya. Sebanyak 29 demonstran terluka tembak.
Dari Izin Pertambangan
2010
28 April
Bupati Bima Ferry Zulkarnain mengeluarkan surat izin usaha pertambangan untuk PT Sumber Mineral Nusantara, yang ditolak penduduk sekitar.
2011
10 Februari
Kantor Camat Lambu dibakar. Masyarakat tak puas karena Bupati Ferry Zulkarnain tak menghadiri dialog soal izin tambang.
1 Desember
Polisi menangkap koordinator aksi masyarakat Lambu, Adi Supriyadi alias Japong.
14 Desember
Sekitar 700 warga Sape, Lambu, Langgudu, dan Wera berunjuk rasa di depan gedung DPRD menuntut pencabutan surat izin tambang Sumber Mineral.
19 Desember
Masyarakat tiga kecamatan, Sape, Lambu, dan Langgudu, menduduki Pelabuhan Sape.
20 Desember
Bupati Ferry Zulkarnain menemui sepuluh perwakilan masyarakat yang dipimpin Hasanuddin. Ferry meminta penduduk menghentikan unjuk rasa. Ia mengatakan tak bisa mencabut izin tambang Sumber Mineral.
22 Desember
Wakil Ketua DPRD Bima, Nadjib, menemui perwakilan warga. Pertemuan ini digagas Gubernur Nusa Tenggara Barat Zainul Majdi. Nadjib berjanji mengawal proses pencabutan izin. Hasanuddin berkeras izin langsung dicabut.
23 Desember
Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat Brigadir Jenderal Arif Wachyunadi bertemu dengan Hasanuddin dan para pengunjuk rasa. Listrik di pelabuhan mulai dipadamkan.
24 Desember
Polisi menyerang demonstran.
Naskah: Pramono
Sumber: Wawancara korban, Komisi Nasional HAM, Walhi Nusa Tenggara Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo