Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Arifin Mochtar*
Dilihat secara detail, dalam beberapa tahun belakangan, pernak-pernik problema yang membayangi kepemimpinan di daerah sangat banyak. Serupa tapi tak sama dengan yang di pusat, kepemimpinan daerah mengalami pasang-surut hubungan yang terkadang sulit dijelaskan dengan akal sehat. Mulai proses kontestasinya, mekanisme suksesinya, hingga proses kepemimpinannya. Semua memiliki catatan yang selayaknya memang sudah harus dibuka secara lebar, dilihat secara lebih jernih, dan dibedah secara lebih subtil.
Sulit memandang pengunduran diri wakil kepala daerah di beberapa tempat hanya sebagai perpecahan akibat wakil ingin mencoba peruntungan menjadi kandidat kepala daerah. Begitu banyak alasan dan persoalan yang sesungguhnya menjadi hal tidak terpisahkan dari cara negara ini membuat kebijakan dan mengatur sistem kepemimpinan daerah. Persoalan di hilir biasanya punya keterkaitan dengan problem di hulu. Semacam konsep sebab-akibat yang mustahil dielakkan.
Problema bisa saja dimulai dari konstelasi aturan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan kesempatan bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berasal dari partai politik atau gabungan partai politik. Sebagai bagian dari upaya memperkuat legitimasi, menguatkan basis dukungan melalui gabungan partai politik adalah hal yang tidak mungkin dihindari.
Namun, dengan konstelasi partai yang minim ideologi (boleh jadi nir-ideologi), sering kali terjadi gabungan partai politik yang sama sekali tidak masuk di akal normal. Hanya kepentingan nir-strategis dan ideologis yang bisa dipakai untuk menjelaskan pernikahan dua partai yang berideologi berseberangan diametral. Makanya gejala perpecahan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang beda partai ini mudah terjadi.
Bukan cuma beda ideologi, partai daerah juga sering kehilangan akar hubungan dengan pemimpin nasional mereka. Partai berikrar jadi oposisi di tingkat nasional, ternyata secara mudah ber-"asyik-masyuk" dengan partai penguasa di daerah. Padahal kita semua paham, dalam sistem negara kesatuan, pemerintah pusat punya keterkaitan erat dengan pemerintah daerah. Dengan demikian, oposisi di tingkat nasional ada baiknya selaras di tingkat lokal. Tentu pikiran sesat jika berpikir bahwa partai oposisi seharusnya beroposisi juga di daerah. Namun, paling tidak, mereka tidak perlu mencampuradukkan posisi oposisi di pusat menjadi pendukung dan/atau bahkan berkolaborasi di daerah.
Memang, dengan ketentuan Pasal 59 ayat 2 UU Nomor 12 Tahun 2008 yang menyerukan basis dukungan partai sekurang-kurangnya 15 persen, pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah berupaya menggunakan cara apa pun untuk memenuhi syarat dukungan minimal. Pada saat yang sama, bertemu keinginan partai dan gabungan partai yang berniat jualan perahu menuju pemilihan kepala daerah. Artinya, konstelasi aturan hukum punya sumbangan yang tidak kecil bagi percepatan reaksi perpecahan di daerah.
Apalagi dengan gejala perpecahan secara personal. Meski keduanya dipilih dalam satu paket, tetap saja kepala daerah merasa menjadi primus interpares dalam sistem pemerintahan di daerah. Wakil kepala daerah, dalam Pasal 26 ayat 1 UU Nomor 32 Tahun 2004, hanya mempunyai dua kemungkinan tugas, yakni pertama, tugas yang menggantikan kepala daerah dan kedua adalah tugas yang akan ada jika kepala daerah memang meminta dibantu.
Pun ketika memahami tugas untuk memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi; serta memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan, dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota, tetap saja berada dalam koridor membantu karena di ayat 2 kemudian ditetapkan bertanggung jawab secara penuh kepada kepala daerah.
Wajar jika wakil kepala daerah kemudian sering kali hanya menjadi penonton dalam tindakan legal maupun ilegal kepala daerah. Apalagi sering kali memang wakil kepala daerah "hanya" diposisikan sebagai pendulang suara, tanpa melihat kapasitas untuk melakukan koordinasi pemerintahan di daerah. Dengan minimnya kapasitas birokrasi-administratif—padahal itulah yang paling mungkin diserahkan kepada wakil kepala daerah—wakil kepala daerah semakin terpinggirkan. Dengan gejala "sepi" kerjaan, wajar jika wakil kepala daerah "pendulang suara" sering kali menjadi lebih banyak berpikir bagaimana sesegera mungkin menjadi pemain dalam tindakan legal dan ilegal sebagai kepala daerah.
Jika diibaratkan pernikahan, pernikahan yang tidak "sekufu" ini punya implikasi besar. Di tengah fragmentasi ideologi, distingsi posisi, dan disfungsi kerja, mereka menjadi pasangan yang rapuh dan mudah bercerai. Termasuk identik dari segi keterpisahan yang secara substansi sudah bercerai tapi harus menunggu proses administratif. Lihat saja komposisi aturan memperlakukan gejala "pecah biduk" antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Meskipun wakil kepala daerah menyatakan berhenti di tengah jalan dan tidak ingin lagi melanjutkan tugasnya, tetap saja "dilogikakan" oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 bahwa ia harus tetap bersama dan "seakan-akan" harus menunggu keputusan dewan perwakilan rakyat daerah untuk memplenokan lalu mengirim usul pemberhentiannya. Dengan demikian, yang terjadi malah semakin menegaskan tersanderanya wakil kepala daerah. Dalam kasus Prijanto, misalnya, ia masih harus melalui proses yang "panjang" menunggu DPRD untuk berhenti sebagai wakil gubernur, meski secara logika hukum sesungguhnya tidak diperlukan adanya lembaga pemberian izin untuk pengunduran diri.
Tentu gejala "pecah biduk" pimpinan daerah ini hanya satu di antara sekian banyak problema lainnya yang selayaknya mendapat perhatian lebih. Namun, jika gejala "pecah biduk" ini tidak segera diperbaiki, bisa menjadi problem terakumulasi yang semakin memperburuk citra kepemimpinan daerah dan berpotensi mengancam demokrasi di tingkat lokal.
Makanya, penting untuk melirik kembali berbagai usul menarik yang bisa menjadi bahan pengayaan wacana solutif. Pertama, membentuk dua wakil kepala daerah dengan memisahkan wakil kepala daerah yang berasal dari politik dan yang berasal dari administratif. Korea adalah salah satu negara yang menerapkannya di daerah otonom. Pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih secara langsung, tapi masih akan ditemani oleh wakil kepala daerah bidang administrasi yang diangkat oleh pemerintah pusat dari pejabat karier yang tersedia di daerah.
Usul ini tentu saja menarik karena tetap mempertahankan basis dukungan politik dan pada saat yang sama mampu mengisi kemungkinan kekosongan kemampuan kepemimpinan daerah secara administratif yang selama ini lebih banyak dimiliki oleh pejabat karier di daerah. Walaupun pada saat yang sama tetap belum tentu menjawab problema gejala "pecah biduk" pemimpin daerah dan akan memberi pekerjaan rumah yang membesar karena logika penambahan ragam jabatan publik di daerah.
Kedua, usul yang tidak kalah menarik untuk menghilangkan begitu saja jabatan wakil kepala daerah dalam sistem kontestasi pemilihan kepemimpinan daerah. Semisal, menggantinya dengan penunjukan pejabat karier prigel yang bisa jadi dilakukan oleh pemerintah pusat berdasarkan usul DPRD. Tentu saja usul ini menjadi menarik karena bisa menutup tuntutan untuk mendapatkan orang yang kapabel di wilayah administratif melengkapi kepala daerah yang biasanya alpa dengan kapasitas ini. Selain itu, dengan hanya memilih kepala daerah, kita tidak terlalu dipusingkan lagi oleh penyakit "kohabitatif" karena pasangan kepala dan wakil yang berasal dari partai yang berbeda. Gejala "pecah biduk" pemimpin daerah bisa diminimalkan.
Meskipun bisa jadi menimbulkan problema baru, apalagi jika wakil kepala daerah ternyata punya kemampuan substantif administratif yang luar biasa, terhalang oleh kepentingan politik dari kepala daerah hasil pemilihan kepala daerah. Berbeda dengan gejala pertarungan menteri dan wakil menteri di tingkat pusat, pertarungan yang sangat mungkin terjadi dan akan sulit didamaikan karena tidak memiliki presiden sebagai simpul dari menteri politis dan wakil menteri karier. Hal lainnya tentu saja adalah basis legitimasi yang lemah jika wakil kepala daerah harus menggantikan kepala daerah yang berhenti di tengah jalan. Problema-problema yang tentu saja harus dipikirkan kembali jalan keluarnya.
Tentu tak ada yang mudah. Mustahil membangun Kota Roma dalam semalam. Begitupun dalam penyelenggaraan kepemimpinan di daerah dengan berbagai problem dan pola hubungan yang ada. Mungkin kemampuan dan kemauan untuk menyelaraskan aras democracy dan welfare tentu menjadi yang terpenting dan selayaknya mengikat siapa saja. Bukan hanya pemerintah dan DPR yang merancang kebijakan di daerah, tapi juga partai-partai dan pemimpin daerah yang ada. Bahkan juga untuk siapa pun yang akan menjadi calon pemimpin di daerah.
*) Pengajar Ilmu Hukum dan Direktur PUKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo