Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Indonesia dan Resesi Global

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri*) *)Staf pengajar FEUI dan peneliti di LPEM-FEUI. KITA tak tahu persis di mana batas kebencian bisa ditulis. Pada 11 September 2001, rasa kemanusiaan seperti dinegasikan dalam bentuk teror yang amat dramatis. World Trade Center, lambang kapitalisme, luluh berikut manusia yang ada di dalamnya. Dan hanya satu minggu setelah aksi teror itu, maskapai penerbangan di Amerika Serikat terkena dampaknya. Lebih dari 100 ribu orang diberhentikan. Frekuensi penerbangan menurun drastis, bahkan perusahaan penerbangan Swissair menghentikan semua aktivitas penerbangannya. Kita tak tahu persis dunia seperti apa yang dihadapi hari ini: Amerika Serikat diserang oleh teroris, Afganistan dibombardir dengan serangan militer, lalu ekonomi masuk ke periode yang suram. Potongan mosaik yang mencemaskan. Di Amerika Serikat, Federal Reserve Bank mencoba bertindak dengan menurunkan tingkat bunga, hasilnya nihil. Di Jepang, tingkat bunga sudah mendekati nol persen, resesi toh tak bisa dicegah. Mungkin kita mulai masuk dalam situasi yang disebut John Maynard Keynes sebagai liquidity trap: penurunan tingkat bunga tak lagi mendorong investasi. Di Singapura, pemerintahnya merevisi pertumbuhan ekonomi menjadi minus 3 persen untuk tahun 2001 dan nol persen untuk tahun 2002. Sebuah resesi yang terburuk semenjak Singapura merdeka. Lalu, bagaimana dengan kita? Kita mulai bicara dengan nada cemas, atau berharap-harap cemas bahwa situasi tak akan seburuk yang diperkirakan. Yang jelas, pemerintah terpaksa merevisi asumsi-asumsi APBN 2002. Tepatkah dan apa yang harus dilakukan? Mungkin baik jika kita mencoba melihat soal ini dengan hati-hati. Simulasi model makroekonometri yang saya lakukan menunjukkan beberapa hal yang menarik diamati. Pertama, penurunan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura sebagai mitra-mitra dagang penting akan membawa dampak negatif bagi pertumbuhan ekspor dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perhitungan yang saya lakukan menunjukkan bahwa dengan skenario pertumbuhan global saat ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menurun sebesar 0,6-0,8 persen. Namun, jika mitra dagang lain diperhitungkan, dampaknya terhadap perekonomian Indonesia akan menjadi lebih besar. Dari simulasi yang dibuat, terlihat bahwa revisi pemerintah dari 5 persen menjadi 4 persen memang terlihat realistis. Kedua, sebagian besar ekonom, dan juga IMF, bicara tentang perlunya memperkuat ekonomi domestik. Saya sepakat sepenuhnya, tetapi bagaimana caranya? Pilihan kebijakan yang kita miliki amat terbatas. Stimulasi ekonomi domestik hanya bisa dilakukan melalui dua hal: ekspansi anggaran dan ekspansi moneter. Perhitungan yang saya lakukan menunjukkan bahwa jika pemerintah meningkatkan investasi pemerintah sebesar 10 persen, kebijakan ini akan mampu meningkatkan pertumbuhan sebesar 0,7 persen. Saya jadi teringat kembali pada Keynes dan buku tuanya yang kering dan teknis: The General Theory of Employment, Interest and Money. Di sana ia berargumen tentang perlunya ekspansi anggaran pemerintah untuk menyelamatkan perekonomian. Tapi pilihan ini bukanlah pilihan yang mudah bagi Indonesia saat ini. Peningkatan investasi pemerintah amat sulit dilakukan karena sebagian besar pengeluaran dari anggaran diperuntukkan bagi pembayaran utang yang tak memiliki dampak ekspansioner. Karena itu, dari sisi anggaran, mungkin ada dua hal yang perlu dilakukan: mempercepat penjualan aset dan restrukturisasi utang. Pilihan meningkatkan penerimaan pajak hanya akan mempercepat resesi. Karena itu, dari sisi penerimaan, pilihan percepatan penjualan asetlah yang harus dilakukan. Di sisi lain, dengan beban utang seperti saat ini, amat sulit buat Indonesia untuk mengharapkan stimulasi perekonomian dengan menggunakan anggaran. Dalam situasi resesi global seperti ini, saya kira cukup realistis bagi pemerintah untuk membicarakan soal ini dengan IMF. Barangkali dengan ini kita punya sedikit amunisi untuk menjelaskan kepada negara donor tentang urgensi restrukturisasi utang. Bukankah IMF sendiri sudah mengatakan perlunya memperkuat ekonomi domestik? Selain anggaran, pilihan lain adalah meningkatkan target base money. Saya sendiri agak pesimistis dengan pilihan ini, karena beberapa hal. Salah satunya, peningkatan uang beredar dalam situasi ketika perbankan belum bisa menjalankan fungsi intermediasi tidak akan banyak membawa dampak kepada perekonomian. Akibatnya, peningkatan uang beredar tak akan banyak menolong. Tetapi ini tentunya bukan berarti bahwa ekspansi moneter sama sekali tidak ada gunanya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa uang beredar memiliki daya dorong yang tinggi untuk pertumbuhan ekonomi bila bank berfungsi. Simulasi juga menunjukkan, ketika sumber pertumbuhan eksternal terganggu karena resesi global, kita harus beralih kepada sumber pertumbuhan internal seperti investasi pemerintah atau ekspansi moneter. Tapi kedua hal ini hanya mungkin dilakukan jika pemerintah dapat bernegosiasi dengan IMF soal policy options yang menyangkut masalah alokasi bujet, base money, dan tentunya negosiasi dengan negara donor soal restrukturisasi utang. Selain itu, efisiensi juga harus ditingkatkan. Tak ada justifikasi untuk proteksi. Mungkin kita punya alasan yang sedikit lebih kuat sekarang untuk bernegosiasi soal utang. Tapi, di lain pihak, kita harus mempercepat proses penjualan asetnya, tak ada pilihan lain. Akan menggelikan—dan juga menjengkelkan—bila pemerintah meminta restrukturisasi utang ke negara donor, sementara kita tetap enggan menjual aset kita, pelaku KKN tak diusut, dan pengusaha rente tetap tenang berleha-leha dengan utang yang tak juga mau dibayarnya. Saya kira kita harus konsekuen untuk mengakhiri episode yang membosankan dan amat menjengkelkan ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus