Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Rakyat dan Anggota Dewan

14 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Soetjipto Wirosardjono*) *) Pengamat sosial SEBELUM heboh tentang "hibah" yang merupakan salah satu sumber penting dari pemupukan kekayaan anggota DPR dan DPRD, Konsorsium Lembaga Pengumpul Pendapat Umum bertanya kepada khalayak pemilih tentang pendapat mereka: apakah mereka yakin pejabat negara, termasuk para anggota DPR dan DPRD, telah melaporkan kekayaannya secara jujur? Ternyata sebaran persepsi mereka tidak seburuk yang banyak diduga orang. Sebanyak 30 persen menyatakan yakin sampai yakin sekali para pejabat negara itu telah melaporkan kekayaannya secara jujur. Tapi yang tidak yakin sampai sangat tidak yakin bahwa laporan kekayaan itu jujur memang lebih banyak, yakni ada 53 persen. Dan selebihnya, sekitar 19 persen khalayak pemilih, tidak tahu atau tidak menjawab. Saya menilai tidak seburuk yang diduga orang karena masyarakat terkesan skeptis tatkala Ketua Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) Jusuf Syakir mengungkap maraknya komponen "hibah" sebagai sumber kekayaan utama sejumlah pejabat negara berdasarkan laporan mereka yang sudah masuk di kantor KPKPN. Jusuf pun berjanji akan menelusuri asal hibah diterima dan dokumen kelengkapannya. Skeptisisme masyarakat tecermin, misalnya, dari laporan investigasi satu majalah bulanan terbitan awal Oktober ini. Sebelum menelusuri asal-usul hibah, agar Pak Jusuf Syakir tidak curiga, ada baiknya menyimak pengarahan seorang pejabat daerah kepada stafnya, termasuk kepada yang bekerja di satu badan usaha milik daerah (BUMD): "Kalau ada pertanyaan dari anggota legislatif, baik itu perorangan maupun lewat forum satu komisi, hendaknya terlebih dahulu didengar baik-baik, apakah anggota atau komisi yang bertanya itu memang betul-betul tidak tahu dan ingin tahu duduk perkara yang sebenarnya dari aparat yang ada di lapangan, atau pertanyaan itu sekadar mengecek, karena banyak di antara anggota legislatif itu yang punya sumber informasi lain, tidak cukup hanya mengandalkan laporan dari kita." "Atau bisa diperhatikan dari nada pertanyaan dan cara bertanya serta isyarat yang mengikuti pertanyaan anggota legislatif yang terhormat itu. Kalau yang terakhir ini terjadi, dipastikan si penanya ada maunya. Lalu, cari tahu dan buat kalkulasi serta siapkan sumbernya dari anggaran promosi, dari anggaran kontingensi, atau sumber lainnya yang perlu dikoordinasikan pengadaannya," pejabat itu menambahkan seperti menjelaskan prosedur tetap kerja birokrat saja! Modus operandi ini barangkali melengkapi mozaik proses terjadinya KKN. Tapi itu sisa sistem kerja penggerogotan uang negara oleh wakil rakyat. Itu cara lama dan berjalan dari dulu; sekarang niscaya bisa lebih canggih. DPR punya hak bujet, yakni hak menetapkan anggaran belanja negara. Karena itu, mereka tanpa malu-malu dalam penetapan anggaran itu sering menempuh politik diplomasi tit for tat untuk tidak mempersulit proses pembahasan RAPBN atau satu rancangan peraturan daerah yang diajukan eksekutif. Misalnya, sebagai imbalan, mereka mengisyaratkan agar tidak dipersoalkan munculnya anggaran untuk "studi banding" anggota DPRD atau bahkan juga permintaan pengadaan kendaraan demi kelancaran mobilitas anggota dewan agar bisa selalu hadir pada setiap sidang fraksi serta sidang komisi. Kiat ini bisa menjengkelkan. Tapi Gubernur DKI Jakarta justru pernah dituduh oleh seorang anggota DPRD DKI sengaja memelihara wartawan untuk memberitakan bocoran rahasia dapur pemerintah daerah, agar ulah anggota DPRD dikontrol oleh masyarakat setelah ada pemberitaan pers. Sadarkah para anggota dewan itu bahwa rakyat tidak mengenal mereka? Hasil jajak pendapat tadi menunjukkan bahwa hanya 1 persen rakyat pemilih yang diwawancarai dapat menyebutkan nama anggota DPR yang mewakili salah satu kabupaten/kota madya di provinsi tempat tinggalnya. Di samping kurang dikenal, hubungan anggota DPR dengan konstituensi juga rapuh. Hanya 5 persen di antara penduduk yang diwawancarai mengaku pernah dihubungi wakil rakyat, baik sebagai perorangan maupun kelompok. Dan 7 persen di antaranya pernah menghubungi wakil rakyat. Hubungan tersebut dilakukan baik secara lisan maupun tertulis, perorangan ataupun kelompok. Kenapa hanya sedikit rakyat yang melakukan kontak dengan wakilnya? Sebanyak 21 persen menyatakan karena "tidak ada yang perlu disampaikan." Sedangkan 16 persen mengatakan karena "tidak tahu caranya." Selebihnya, ada 14 persen yang bilang karena mereka "tidak bisa dipercaya." Memang, rakyat sungguh tidak bodoh!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus