Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBELUM mobil listrik diproduksi massal, hendaklah diperhitungkan segala risikonya agar kelak betul-betul menguntungkan publik. Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, yang merupakan sahibul gagasan, bisa belajar dari kegagalan dan sukses penerapan mobil listrik negara lain.
Mobil listrik di Amerika, misalnya, kini makin tidak populer di tingkat konsumen. Meski sudah didiskon, diberi keringanan pajak dan fasilitas kredit bagi pembelinya, angka penjualan makin melorot. Sebab, banyak pengguna merasakan ketidakpraktisan kendaraan tersebut dengan berbagai alasan, dari sedikitnya jumlah stasiun pengisian listrik sampai langkanya bengkel pemeliharaan.
Di Jepang, aktivis antinuklir khawatir penggunaan mobil listrik, yang listriknya dipasok pusat listrik tenaga nuklir, akan memperpanjang riwayat kebocoran PLTN. Di Cina, negara yang paling ambisius melaksanakan proyek green car ini, mulai timbul kenyataan-kenyataan tak mengenakkan. Suatu studi mengatakan mobil listrik di Cina ternyata lebih polutif dibanding mobil gas. Cina bertaruh besar dengan mobil listrik, kata sebuah media Eropa.
Indonesia menghadapi problem lain. Kita tahu jumlah pasokan listrik yang disediakan Perusahaan Listrik Negara masih sedikit: 27 gigawatt untuk kawasan Jawa-Bali, dan 20 gigawatt untuk sisa kepulauan lain. Memenuhi kebutuhan listrik industri dan rumah tangga saja kita masih terseok-seok. Jika disedot oleh mobil listrik, apa enggak byar-pet? Pasti diperlukan pembangkit listrik baru, dan ini membuat subsidi untuk PLN makin membengkak.
Penghematan memang bisa dilakukan bila nanti para empunya mobil listrik men-charge mobilnya malam hari, pada 23.00-04.00, tatkala konsumsi listrik kota umumnya turun. Pengisian diperkirakan makan waktu lima jam. Itu tentu membuat pemilik agak tak nyenyak tidur. Recharging yang membutuhkan waktu lima jam di rumah memang menjadi masalah sendiri.
PLN sudah mencoba membuat prototipe stasiun pengisian listrik umum (SPLU) yang cepat untuk isi ulang baterai. Direncanakan, untuk tahap pertama dibuat 24 SPLU di Jakarta, dengan pengisian listrik hanya sekitar 15 menit. Tapi pengisian cepat membutuhkan jenis baterai tahan panas, yang harganya mahal. Baterai lithium ferrous phosphate—baterai khusus untuk mobil listrik—sudah merupakan komponen berbiaya amat tinggi.
Sebaiknya dipikirkan bagaimana memproduksi baterai yang rutin diganti itu dengan murah. Pemerintah harus mengucurkan dana tinggi untuk riset dan mempekerjakan ilmuwan tepercaya, karena pabrik mobil listrik di Amerika saja sampai sekarang belum bisa membuat baterai yang murah.
Harus diperhitungkan pula faktor kemacetan Jakarta. Baterai dengan kualitas apa pun akan keteteran bila menghadapi kota seperti Jakarta. Mobil listrik membutuhkan tenaga ekstra ketika menggerakkan mesin dari kondisi berhenti di tengah kemacetan. Akibatnya, baterai akan cepat soak. Tentu semua problem ini telah dipikirkan Menteri Dahlan dan dicarikan jalan keluarnya, sehingga pilihan terhadap mobil listrik betul-betul menguntungkan masa depan kita.
berita terkait di halaman 32
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo