Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYAKSIKAN kelompok mayoritas yang beringas mengejar minoritas yang tak berdaya di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Sampang, Madura, buyar sudah gambaran lama Indonesia sebagai bangsa toleran. Puncak intoleransi ini tampak pada ironi: penyerang dan korban sama-sama meneriakkan Allahu Akbar. Mereka seakan-akan mengaku sebagai bagian dari keyakinan yang sama, tapi menolak hidup berdampingan secara damai.
Setelah dua orang tewas, puluhan rumah hangus, dan hampir tiga ratus orang menjadi pengungsi dadakan, sesungguhnya sudah jelas siapa yang melakukan penistaan agama berujung angkara murka di dusun kecil itu. Mereka adalah kelompok yang menyerang dengan bersenjata celurit dan kelewang pada saat menjelang zuhur, Kamis dua pekan lalu.
Dengan maksud mengecilkan persoalan, beberapa tokoh nasional dan lokal dari berbagai organisasi kemasyarakatan kemudian menarik kesimpulan gegabah: konflik berdarah itu berpangkal pada masalah keluarga, bukan soal perbedaan teologis Sunni dan Syiah. Sesederhana itu, tapi justru di situlah duduk perkaranya: menggunakan agama untuk kepentingan pribadi, apalagi untuk tujuan yang sama sekali tidak kudus, merupakan pelecehan terhadap kesucian agama.
Di Sampang, agama direduksi menjadi instrumen untuk mewujudkan kepentingan pribadi seorang tokoh lokal. Roies, seorang pemimpin pesantren Sunni, yang sakit hati lantaran anak buah yang tengah ditaksirnya dilamar orang, mendorong penyerangan yang kemudian menerbitkan kehancuran itu.
Dalam aneka perkara, Indonesia selalu "kreatif" menciptakan kambing hitam—sosok yang setiap saat bisa dipersalahkan manakala terjadi kegagalan, kemarahan, atau ketidakpuasan massal. Setelah pengkambinghitaman minoritas etnis tertentu yang berlangsung selama Orde Baru tak terdengar lagi sejak Tragedi Mei 1998, perlahan-lahan orang mulai mencium gelagat bahwa negeri ini menemukan kelompok baru yang bakal menjadi sasaran tembak setiap saat diperlukan. Mereka mazhab atau sekte minoritas yang silih berganti mengalami persekusi dalam lima tahun terakhir.
Kalau sudah begini, agama yang sakral pun menjadi instrumental. Demi mewujudkan ambisi menjadi kepala daerah, misalnya, seorang calon bisa saja membarter dukungan kelompok dominan dengan satu syarat: sekte minoritas yang akidahnya berbeda dengan mayoritas akan dibuat angkat kaki bila ia berhasil menang dalam pemilihan kepala daerah. Dari kesepakatan durjana seperti ini kemudian lahirlah sejumlah kebijakan yang menoleransi kekerasan terhadap minoritas.
Padahal hak hidup kaum minoritas ini sudah amat gamblang diatur dalam konstitusi yang telah diamendemen keempat kalinya. Pasal 28 dan 29 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan ihwal kebebasan warga negara untuk meyakini dan menjalankan keyakinan masing-masing. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menyebutkan bahwa hak untuk hidup dan tidak disiksa serta kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun.
Penyerbuan disertai pembakaran terhadap pesantren sekte Syiah di Sampang, Madura, jelas merupakan perbuatan kriminal. Aparat kepolisian harus segera menangkap para pelakunya. Tindakan melawan hukum ini pantas diganjar maksimal untuk menimbulkan efek jera. Tanpa itu, elite yang terbiasa menggunakan sentimen agama untuk kepentingan pribadi—yang sebenarnya sekaligus melecehkan kekudusan agama—akan menikmati detik-detik intoleransi ini.
berita terkait di halaman 100
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo