Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Noor Huda Ismail
Islam Nusantara diharapkan pemerintah Presiden Joko Widodo menjadi kunci keberhasilan deradikalisasi. Harapan itu mengemuka setelah negara sering dituding gagal meredam gerakan radikal karena dua hal. Pertama, ancaman terorisme belum sirna sejak bom Bali pada 2002. Kedua, ratusan warga Indonesia telah bergabung dengan Islamic State (IS) An Nusro di Irak dan Suriah.
Namun api semangat gerakan ini tidak baru. Islam Nusantara pada dasarnya ingin menjadikan orang Indonesia sebagai muslim tanpa harus menjadi orang Arab—meski Nabi Muhammad SAW berasal dari Arab dan Al-Quran juga berbahasa Arab. Semangat Islam Nusantara bisa ditelusuri saat Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, yang menimba ilmu dan mengajar beberapa tahun di Mekah, kembali ke Tanah Air dengan mendirikan Nahdlatul Ulama (NU), yang menjadikan NKRI harga mati dan merawat nilai-nilai keberagaman berdasarkan Islam rahmatan lil alamin.
Di tengah harapan agar Islam Nusantara mampu meredam radikalisasi, tidak dapat dimungkiri bahwa selama 13 tahun belakangan ini beberapa pelaku terorisme pernah menjadi bagian dari komunitas NU, meski mereka tidak mempunyai kartu tanda anggota dari organisasi kemasyarakatan ini. Aman Abdurrahman, misalnya, dalam wawancara di penjara, mengaku kepada penulis pernah menjadi bagian dari tradisi NU ketika masa remaja. Aman adalah residivis dua kasus terorisme: bom Cimanggis 2004 dan pelatihan militer di Aceh 2011. Dari balik jeruji penjara, Aman menerjemahkan propaganda IS yang kemudian diunduh ke website Tauhid Wal Jihad oleh para pengikutnya.
Karena itu, spirit Islam Nusantara semestinya diletakkan dalam konteks mainstreaming Islam moderat dalam sebuah koalisi besar yang melampaui sekat-sekat NU. Koalisi ini kemudian diarahkan untuk menghidupkan kembali kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan nilai Islam. Misalnya perayaan padungku di Poso di mana semua lapisan masyarakat tanpa mengenal suku dan agama berkumpul dan makan bersama setelah panen. Di Ambon, dikenal tradisi pela, gandong, makan patita, dan masohi, yang sangat mujarab untuk media rekonsiliasi dan menangkal radikalisme.
Harapannya, muslim Indonesia kemudian menjadi percaya diri bahwa mengadopsi kearifan lokal tidak akan menggerus keislaman mereka karena secara historis ada rujukannya dalam Islam. Salah satu contoh tradisi pemberian mahar kepada calon pengantin perempuan di Arab yang sudah ada sebelum Islam. Masa itu, orang tua yang berhak dan menentukan harga mahar. Setelah Islam muncul, konsep mahar berubah: calon pengantin perempuan menentukan dan berhak atas mahar itu. Contoh di atas menunjukkan bahwa Islam sangat dinamis dan akomodatif terhadap budaya lokal.
Niat baik Islam Nusantara justru di-bully oleh sebagian aktivis Islam karena soal kemasan, yakni penambahan kata "nusantara" setelah kata "Islam". Gerakan ini dianggap sebagai proyek menusantarakan Islam, bukan mengislamkan Nusantara. Salah satu yang mereka tentang soal membaca Al-Quran dengan langgam Jawa.
Penentang gerakan ini sering mempunyai pemahaman yang dekat dengan Wahabi. Ironisnya, Muhammadiyah, ormas Islam terbesar kedua setelah NU, dimasukkan ke kotak ini. Padahal Muhammadiyah juga bagian dari kontekstualisasi Islam Indonesia, meski dengan cara yang berbeda. Aroma Wahabi dalam Muhammadiyah terendus dari semangat purifikasi gerakan ini. Namun Muhammadiyah berimprovisasi dengan memberi ruang kepada perempuan untuk masuk ke wilayah publik. Ini sangat berbeda dengan Wahabi di Arab Saudi.
Namun sungguh naif dan salah kaprah jika menuding Wahabi mendukung terorisme dan IS. Jaringan salafi yang sangat kental Wahabi, misalnya, tidak pernah punya niat melawan negara selama suara azan masih boleh dikumandangkan. Wahabi memang sangat tidak toleran kepada kelompok yang berbeda, seperti Syiah dan Ahmadiyah. Tapi intoleransi ini juga terjadi di basis-basis NU, seperti dalam kasus Cikeusik (Banten) dan Sampang (Madura).
Nah, jika yang disasar Islam Nusantara ini adalah kelompok yang terlibat aksi terorisme, jelas tidak akan efektif bila eksklusivitas NU masih ada dan terus meributkan fiqh khilafiyah (tata cara ritual beribadah). Masalah bangsa ini tidak akan selesai dengan satu ormas saja.
Lagi pula, jumlah anggota kelompok kekerasan itu kecil. Hasil telisik sandi terhadap seribuan pelaku tindak pidana terorisme di Indonesia sejak 2002 menunjukkan bahwa para pelaku itu berasal dari kelompok yang selama ini sudah teridentifikasi. Kalaupun muncul kelompok baru, mereka adalah sempalan dari kelompok lama. Kelompok baru ini lalu menuding kelompok lama sebagai kelompok qoidun (orang yang hanya duduk-duduk) dan tidak tertarik lagi pada jihad. Pepi Fernando, misalnya, otak dari teror bom buku, pada awalnya pernah dianggap anggota jaringan baru. Namun, bila dirunut, ia pernah menjadi bagian dari kelompok Darul Islam.
Dalam film dokumenter yang sedang saya produksi, Jihad Selfie, saya menemukan bahwa hadirnya media sosial memberi dimensi baru dalam rekrutmen, terutama dalam kasus IS. Mereka yang telah bergabung ada yang tidak punya hubungan apa pun dengan kelompok teridentifikasi itu. Fitur Facebook messenger memudahkan calon anggota berkomunikasi dengan WNI yang telah bergabung lebih dulu dengan IS. Dua pelajar Indonesia di Turki, Yazid Ulwan dan Bagus Wijangga Panulat, yang nekat bergabung dengan IS, adalah bukti nyata dari fenomena baru ini.
Hal lain yang harus diingat bahwa kelompok jihad, semisal Darul Islam pada 1950-an, akan semakin kuat ketika diserang dari pihak luar. Assaf Moghadam dan Brian Fishman dalam buku berjudul Fault Lines in Global Jihad (2011) memaparkan bahwa kelompok jihad akan melemah selain, karena operasi keamanan dari aparat, lantaran permasalahan internal mereka sendiri. Dalam konteks Indonesia, DI pecah menjadi Jamaah Islamiyah. Tidak bertahan lama, lahir Majelis Mujahidin Indonesia, kemudian Jamaah Ansharut Tauhid, Jamaah Anshorus Sunnah, dan seterusnya. Meski namanya beda, kelompok-kelompok ini berebut anggota dari ceruk pasar yang sama. Isu internasional, seperti konflik Suriah dan Irak, Palestina, atau Rohingya, dapat menyatukan gerakan ini kembali.
Untuk melemahkan mereka, negara tidak hanya harus cerdas dalam mengolah perseteruan internal kelompok, tapi juga memantau dinamika politik dunia internasional. Masyarakat dan negara juga harus memberikan kesempatan kedua kepada para mantan narapidana terorisme untuk menata hidup baru secara terstruktur, sistematis, dan konkret. Para mantan narapidana terorisme ini adalah agen perubahan internal di komunitas mereka. Jika negara hanya memberi harapan palsu, ini akan menambah residu kebencian kepada negara, yang pada gilirannya akan meledak jika dipantik oleh kondisi yang tepat.
Kira-kira ilustrasi untuk menyelesaikan kasus terorisme itu adalah jika ingin memetik bunga mawar yang dipenuhi duri, kita tidak perlu memakai buldoser yang justru akan merusak taman yang sudah tumbuh dengan baik selama ini. Cukup pakai gunting bunga dan kemudian kita potong bunga mawar itu pelan-pelan. Itu sebabnya, dalam memerangi gerakan radikal, pemerintah Jokowi harus membaca ulang moto dinas pegadaian kita yang selalu ramai menjelang Lebaran, yakni bagaimana: "Mengatasi Masalah Tanpa Masalah". l
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian dan mahasiswa program S3 politik dan hubungan internasional di Monash University, Melbourne, Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo