Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMPERTAHANKAN keberadaan Badan Amil Zakat Nasional dengan wewenang seperti sekarang sama saja dengan melegitimasi kekeliruan. Baznas, disadari atau tidak, adalah institusionalisasi dari dua fungsi yang semestinya dijalankan dua lembaga yang berbeda: pengawas dan operator.
Entah bagaimana penyusunan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat berlangsung. Tapi adanya pasal-pasal yang menjadikan Baznas berwajah ganda itu sungguh sulit dimengerti. Pasal 6 dan 7, misalnya, mengatur tugas pengelolaan berupa pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. Di pasal 18, yang mengatur pemberian izin pembentukan lembaga amil zakat, ada ketentuan tentang perlunya rekomendasi dari Baznas. Ini masih ditambah pasal 19 tentang kewajiban semua lembaga amil zakat melaporkan pekerjaannya kepada Baznas.
Di badan usaha milik negara, lembaga amil zakat lebih dulu ada ketimbang regulasi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011. Lembaga-lembaga itu dibentuk dan dikukuhkan Menteri Agama berdasarkan undang-undang tentang pengelolaan zakat sebelumnya. Dengan adanya undang-undang baru, lembaga-lembaga itu diwajibkan menyesuaikan diri paling lambat lima tahun.
Kenyataannya, penyesuaian diri itu tak mudah. Di beberapa BUMN ada keinginan kuat mempertahankan lembaga amil zakat yang sudah beroperasi atau ada yang memilih menyalurkan zakat melalui lembaga amil zakat "swasta". Keinginan ini dianggap bertentangan dengan salah satu tugas Baznas sebagaimana diuraikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014, yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan Zakat—yakni pengumpulan zakat di lingkungan BUMN.
Jika diperhatikan dengan saksama, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya itu menyerahkan seluruh pekerjaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat kepada Baznas. Dengan kata lain, ini adalah tindakan sentralisasi atau, lebih jauh dari itu, upaya membebankan urusan praktek keagamaan kepada negara—serupa dengan bagaimana pemerintah selama ini menjadi penyelenggara haji.
Bahkan, jika hal itu bisa diterima, semestinya pelaksananya adalah lembaga yang memang khusus menjalankan tugas tersebut. Lembaga ini tak boleh sekaligus menjadi pengawas, apalagi regulator, yang menetapkan aturan dan mengontrol penegakannya. Tapi, bagaimanapun, sentralisasi yang cenderung monopoli itu hanya bisa berarti pengekangan terhadap inisiatif dari bawah, yang justru menunjukkan sebuah masyarakat yang hidup. Baznas menganggap kumpulan karyawan BUMN yang mendirikan lembaga amil zakat bukanlah masyarakat, melainkan hanya pegawai badan usaha—sebuah pengertian yang kaku.
Gesekan dengan lembaga amil zakat "swasta", terutama dalam hal zakat di lingkungan BUMN, juga bakal sukar dihindarkan jika Baznas sulit bersikap luwes. Apalagi jika Baznas tak transparan. Berkukuh menjalankan apa yang dianggapnya benar sesuai dengan ketentuan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya hanya akan menutup jalan keluar dari situasi mau menang sendiri yang berpotensi mempertajam konflik.
Jalan keluar terbaik adalah mengubah undang-undang. Sementara menunggu hal itu, sebaiknyalah Baznas menahan diri dengan memilih menjalankan tugas pengawasan saja. Bila itu tak mungkin, barangkali karena tidak mau dianggap tak menjalankan undang-undang, bekerja sama dengan lembaga amil zakat mana pun adalah pilihan yang elok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo