Ahmad Sahal
Deputi Direktur Freedom Institute
Kenapa orang beragama bisa tidak toleran terhadap perbedaan pandangan, bahkan yang datang dari pemeluk agama yang sama?
Contoh satu: Habib Rizieq dari Front Pembela Islam berorasi: partai yang memperjuangkan syariat Islam adalah "partai Allah", sedangkan yang tidak adalah "partai setan". Padahal, partai-partai yang tidak memperjuangkan syariat sebagai dasar negara, mayoritas pemilihnya adalah muslim. Muhammadiyah, NU, tokoh muslim seperti Hasyim Muzadi, Syafi'i Ma'arif, dan Nurcholish Madjid juga tidak setuju dengan penerapan syariat. Tapi, menurut Habib Rizieq, mereka yang tidak prosyariat masuk dalam kategori "partai setan".
Contoh dua: Baru-baru ini Fauzan dari Majelis Mujahidin menuntut agar iklan "Islam warna-warni" di RCTI dan SCTV dihentikan karena dituduh menyimpang dari Islam. Bila Fauzan tidak setuju paham Islam warna-warni, itu haknya. Tapi menuduh pandangan muslim lain yang tidak ia setujui itu menyimpang dari Islam dan layak diberangus, itu soal lain.
Berhadapan dengan soal muskil ini, saya jadi teringat akan sekte Khawarij yang muncul pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Khawarij adalah suatu sekte dalam Islam yang sangat harfiah dalam memahami Quran dan hadis, dan meyakini bahwa ketundukan harfiah semacam itulah satu-satunya wajah Islam. Begitu keras kaum Khawarij mengidentikkan Islam dengan pemahaman harfiah, sampai-sampai apa pun yang di luar arti harfiah, yang berarti juga apa pun yang berbeda dengan mereka, akan dengan serta-merta dicap keluar dari Islam, alias murtad, alias halal darahnya.
Seperti ditulis oleh Harun Nasution dalam Teologi Islam, sekte ini merupakan sempalan dari pengikut Ali yang kecewa terhadap keputusan Ali menerima arbitrase (tahkim) dalam menyelesaikan persengketaannya dengan Muawiyah bin Abu Sufyan menyangkut soal kekhalifahan. Di mata Khawarij, arbitrase berarti menjadikan hukum dan kesepakatan manusia sebagai pedoman. Ini jelas satu "sekularisme" yang tak terampunkan karena melanggar bunyi ayat Quran: "Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang diwahyukan Allah adalah kafir" (Al-Maidah 44). Khawarij, yang memang sepenuhnya berdasar pada arti harfiah ayat tersebut dan bersemboyan la hukma illa lillah (tidak ada hukum selain hukum Allah), lantas mengafirkan para sahabat Nabi yang berarbitrase, yakni Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, Amr bin Ash (kubu Muawiyah), dan Abu Musa al-Asy'ari (kubu Ali).
Tidak hanya memvonis kafir, Khawarij juga menggelar proyek pembunuhan terhadap para sahabat Nabi tersebut. Pada akhir cerita, kita tahu hanya Ali bin Abi Thalib yang dapat dibunuh oleh seorang Khawarij bernama Ibn Muljam.
Dari kisah itu, kita melihat bahwa intoleransi yang berujung pada penghalalan darah ternyata sudah terjadi pada awal sejarah Islam. Dan yang jadi korban justru menantu dan sepupu Rasulullah SAW sendiri. Ali adalah korban yang tragis dari paham Islam harfiah ala Khawarij, suatu sekte yang dalam bahasa Harun Nasution mencerminkan "iman yang tebal dengan akal yang sempit".
Tarikh Islam mencatat, sekte Khawarij memang tidak berumur panjang. Tapi gejala atavismenya bukannya tidak ada. Khawarij memang telah mati, tapi ciri-ciri dan tabiatnya bisa saja muncul kembali. Tidak dalam bentuk Khawarij tentu, tapi dalam sikap intoleransi yang keras dalam beragama.
Dari mana datangnya intoleransi ini? Ada satu jawaban dari Ali bin Abi Thalib tentang hal ini, yang direkam oleh ahli tafsir al-Tabari dan dikutip oleh Nasr Abu Zayd. Tatkala melihat sikap Khawarij yang getol meneriakkan "tidak ada hukum selain hukum Allah" dan pada saat yang sama gampang sekali mengafirkan orang Islam lain yang tidak sepaham, Ali menanggapi begini: "Quran itu ada di dalam mushaf. Ia tidak berbicara. Yang berbicara atas nama Quran adalah manusianya."
Ujaran Ali ini menarik karena menunjukkan betapa Khawarij yang galak itu ternyata hanya berdasar pada satu waham. Dengan menobatkan pemahaman harfiah terhadap Quran sebagai satu-satunya wajah Islam yang sah, Khawarij telah terjebak pada sikap mengidentikkan bacaan harfiah Quran dengan Quran itu sendiri. Dan karena Quran adalah wahyu Ilahi yang suci, bacaan harfiahnya pun diyakini berstatus suci juga. Khawarij yang harfiah pun lalu merasa paling suci.
Menurut Ali, sikap Khawarij ini tak lebih sebagai waham, karena mereka hanya mengingat "teks" tapi melupakan "sang manusia" yang membaca teks itu. Bahwa Quran itu suci dan abadi, itu jelas menjadi iman setiap muslim. Tapi bacaan dan pemahaman yang terbit dari teks suci itu tidak serta-merta suci juga, karena produsennya adalah manusia yang bisa salah dan terbatas. Quran memang bersifat Ilahi dan mutlak. Tapi bacaannya, termasuk yang harfiah, bersifat manusiawi belaka, dan karena itu tidak mutlak.
Dengan menyebut faktor "manusia", Ali juga menegaskan satu hal yang diabaikan Khawarij bahwa bacaan kita terhadap Quran pada akhirnya adalah tafsir kita terhadapnya. Bacaan harfiah pun juga salah satu tafsir saja. Dan tafsir selalu terpaut dengan ruang dan waktu, karena manusia sebagai sang penafsir adalah makhluk yang menyejarah. Selain itu, tafsir juga senantiasa beragam karena kaum muslimin juga beragam. Secara historis, ini bisa kita lihat pada banyaknya aliran dalam Islam, yang masing-masing mengembangkan tafsir yang berbeda-beda, bahkan bertentangan. Sejak zaman Nabi pun kemajemukan bacaan Quran, yang berimplikasi pada pluralitas makna, sudah diakui. Bukankah Nabi mengatakan, Quran diturunkan "ala sab'ati ahrufin", berdasar tujuh macam bacaan?
Itulah sebabnya kita tidak bisa berbicara tentang Islam yang tunggal, yang melampaui sejarah. Pada tataran ideal, Islam memang satu, tapi kita tidak pernah menemuinya dalam kenyataan. Yang bisa kita jumpai adalah wajah historis Islam yang beragam. Semuanya sama-sama Islam. Islam warna-warni, dengan demikian, merupakan keniscayaan.
Gejala "lupa manusia" inilah pangkal tolak intoleransi dalam beragama. Dan kalau manusia sudah diabaikan, lalu apa artinya klaim agama sebagai pembebas dan rahmat bagi manusia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini