Hamid Awaludin
Anggota Komisi Pemilihan Umum
Indonesia pasca-amandemen konstitusi adalah Indonesia yang diharapkan berganti wajah, yang lebih demokratis dan lebih maju. Ini harapan yang tidak muluk-muluk. Sebab, terlepas dari berbagai kelemahan amandemen tersebut, ternyata memang banyak aspek yang mengalami perubahan, terutama bidang struktur kelembagaan.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sebuah lembaga baru yang dipotret sebagai sistem bikameral. Lembaga legislatif ini akan memfokuskan diri pada masalah atau isu-isu daerah. Dengan demikian, persoalan daerah kelak bisa dieliminasi, kendati lembaga ini kini sebenarnya sudah jauh melenceng dari cita-cita sebelumnya. Ide bikameral semula bermaksud menempatkan DPD sebagai wakil daerah secara teritorial. Setiap provinsi diwakili oleh empat orang, terlepas apakah provinsi tersebut memiliki jumlah penduduk yang besar atau kecil.
Gagasan ini lahir untuk mengimbangi dominasi provinsi yang besar jumlah penduduknya, yang tentunya lebih banyak memiliki wakil di DPR dibandingkan dengan provinsi berpenduduk sedikit. Dengan adanya DPD, dominasi mayoritas di DPR bisa direduksi. Sebab, hak dan fungsi DPD sama saja dengan DPR. Saat itu kita membayangkan, semua undang-undang yang dibuat di lembaga legislatif harus melalui dan disetujui oleh kedua kamar (DPR dan DPD) tersebut.
Saat itu kita membayangkan Amerika Serikat, yang memiliki The House of Representatives yang mencerminkan jumlah penduduk, dan Senat yang mencerminkan keterwakilan teritorial, di mana ada dua senator mewakili tiap negara bagian—terlepas apakah itu berpenduduk besar atau kecil. Karena itu, meski The House menyetujui sebuah rancangan undang-undang yang bisa saja dimenangkan oleh negara bagian yang besar penduduknya, rancangan tersebut tetap juga harus disetujui oleh Senat. Dengan sistem ini, tidak ada kesewenang-wenangan mayoritas. Namun ide ini kandas, dan lahirlah DPD seperti sekarang ini, yang hanya berfungsi menangani masalah daerah.
Secara legal, DPD bisa saja dipersepsikan orang sebagai lembaga yang lebih rendah daripada DPR. Soalnya, undang-undang dasar kita menjamin bahwa DPR tidak bisa dibubarkan oleh presiden. Sementara itu, tidak ada satu pun pasal dalam konstitusi yang memberi jaminan serupa terhadap DPD. Maka bisa saja suatu saat presiden membubarkan DPD dengan dalih tak ada larangan untuk membubarkannya. Pada saat yang berbarengan, konstitusi kita secara tegas mengatakan bahwa MPR terdiri atas DPR dan DPD. Implikasinya, MPR kian susah memecat presiden, meski presiden sudah memenuhi persyaratan pemecatan. Sebab, pada saat MPR hendak mengambil voting pemecatan, presiden bisa membubarkan DPD. Dengan demikian, suara untuk memecat presiden berkurang atau tidak memenuhi kuorum.
Masalah kedua menyangkut syarat keanggotaan. Dalam Rancangan Undang-Undang Pemilu yang kini tengah digodok DPR disebutkan bahwa calon anggota DPD harus bertempat tinggal minimal tiga tahun berturut-turut di provinsi yang hendak diwakilinya. Ketentuan ini terkesan tidak mengikuti dinamika sosial. Kini orang hidup dalam pola yang disebut oleh para ahli komunikasi sebagai global village (desa global), sehingga batas-batas fisik satu tempat dengan yang lain kian kabur. Maknanya, persoalan tempat tinggal bukan lagi jadi hambatan. Kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi bisa menjembatani jarak ruang dan waktu tersebut.
Nah, dengan batasan waktu dan tempat tinggal tersebut, susah saya membayangkan jika ada daerah yang memiliki wakil untuk duduk DPD yang berkualitas manajer atau profesional. Soalnya, kedua jenis makhluk ini pada umumnya bergerak dinamis. Mereka tak pernah bermukim hanya di sebuah tempat dengan waktu yang lebih dari dua tahun. Apakah dengan kualifikasi tiga tahun berturut-turut tersebut, sistem rekrutmen politik kita bisa menjaring putra-putri terbaik daerah untuk duduk di lembaga DPD? Yang saya bayangkan justru sebaliknya. Daerah hanya bisa diwakili oleh orang-orang yang tidak pernah mengintip jendela dunia.
Ada yang berpendapat, batasan tiga tahun berturut-turut tersebut memungkinkan daerah memiliki wakil yang benarbenar mengetahui persoalan daerah. Dengan demikian, sang wakil bisa mengartikulasikan kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi daerah. Pemahaman aspirasi dan tuntutan bisa saja dimiliki oleh siapa pun, tanpa harus berada tiga tahun berturut-turut di daerah tersebut. Dalam konteks ini, kita bisa berpandangan, untuk mengetahui dan merasakan penderitaan seorang pengidap kanker, kita tidak harus juga ikut mengidap penyakit kanker.
Yang penting, sang calon tersebut bisa diterima dan dipercaya oleh rakyat untuk mengemban dan membawa aspirasi mereka. Apalagi sistem pemilihan anggota DPD adalah pemilihan langsung, dan yang jadi calon adalah individu, bukan wakil partai. Karena itu, biarlah kelak rakyat yang menentukan, siapa yang mereka inginkan jadi wakil mereka. Tidak perlu ada batasan bahwa jadi wakil mereka haruslah orang yang berada di provinsi tersebut selama tiga tahun berturut-turut. Biarlah rakyat yang menentukan kualitas calon lewat program, strategi, misi, dan visi yang dijajakannya selama masa kampanye. Dalam pemilihan langsung, berlaku prinsip suara rakyat adalah suara Tuhan.
Soal domisili wakil rakyat ini ada baiknya bangsa kita becermin pada Amerika Serikat. Istri mantan Presiden AS, Hillary Rodham Clinton, tumbuh dan besar di Negara Bagian Arkansas. Setelah sang suami pensiun, ia pun mencalonkan diri sebagai senator mewakili Negara Bagian New York. Ia terpilih dan mengalahkan calon lainnya yang tumbuh dan besar di New York. Rakyat New York memilih Hillary karena ia dianggap cakap dan mampu membawa aspirasi mereka ke Capitol Hill. Di sini tak ada urusan domisili.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini