Asvi Warman Adam
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
1
Akbar Tandjung senasib dengan Sisyphus. Ia mendorong batu besar ke atas bukit dan, sebelum sampai ke puncak, batu itu telah berguling. Dicoba lagi dibawa ke atas, tapi batu itu meluncur keras ke bawah. Bagi Akbar dan kawan-kawan serta Golkar secara keseluruhan, batu itu adalah masa lalu mereka.
Batu itu telah menggeletak di ruang persidangan sarat kejanggalan yang berakhir Rabu pekan lalu. Hakim menyatakan Akbar Tandjung terbukti bersalah dalam tindak pidana korupsi, dan dihukum selama tiga tahun. Pengadilan ini jelas mempertimbangkan aspek politik. Bila yang divonis bukan seorang Ketua DPR, mungkin hukumannya bisa 20 tahun, bahkan seumur hidup. Ia juga tidak langsung masuk bui.
Akbar menyatakan naik banding. Para politisi mempertanyakan apakah kursi Ketua DPR masih layak lagi didudukinya. Selain itu, apakah ia masih memiliki kredibilitas untuk memimpin Partai Golkar. Reaksi dari para petinggi Golkar sudah diduga. Mereka tampil di semua stasiun televisi, membela sang Ketua. Yang diperlihatkan memang solidaritas—atau lebih tepat perkoncoan—dari para elite Golkar.
Masalahnya sederhana saja. Kalau Akbar sampai mundur dari Golkar, partai ini akan kebingungan karena selama ini dia adalah tokoh pemersatu. Jika Akbar pergi, konflik intern partai yang pernah terjadi ketika Habibie gagal dicalonkan sebagai presiden pada tahun 1999 yang lalu bisa merebak kembali.
Kalau Akbar mundur sebagai Ketua DPR, jelas penggantinya bukan dari Golkar. Posisi presiden, wakil presiden, Ketua MPR, dan Ketua DPR seakan jabatan yang dibagi-bagi di antara empat partai peraih suara terbesar pemilu lalu. Kini, apakah kursi Ketua DPR akan diserahkan Golkar pula kepada lawannya?
Seandainya Akbar tetap bertahan sebagai Ketua DPR dan pemimpin Golkar, ia akan digoyang terus sampai tahun 2004. Peluang menjadi calon presiden—sebetulnya ia memiliki kans relatif besar—kini telah menipis. Menunda keadaan seperti ini berlarut-larut seakan menggantung nasib Akbar dan juga Golkar.
Publik harus mendesak agar segera ada ketetapan hukum. Kalau kasus Manulife dapat diputus Mahkamah Agung begitu cepat, kenapa perkara Bulog jilid II tidak? Diharapkan, tahun 2002 ini juga sudah ada keputusan hukum yang tetap (misalnya Oktober ini sudah ada keputusan dari Kejaksaan Tinggi, kalau ada kasasi, maka sudah diputuskan November 2002). Dengan demikian, simalakama ini dapat diselesaikan. Meskipun Mahkamah Agung memiliki ribuan tunggakan perkara, kasus ini dapat didahulukan karena menyangkut kredibilitas lembaga tinggi negara.
2
Golkar adalah mesin pengumpul suara bagi rezim Orde Baru, meskipun pada mulanya merupakan upaya beberapa elite militer dalam menghadang kemajuan PKI sebelum tahun 1965. Dengan pilar yang kemudian dikenal sebagai ABG (ABRI, birokrat, dan politisi Golkar), persekongkolan antara politisi partai ini dan birokrat sipil serta militer diabadikan selama tiga dasawarsa. Trio ini tak lupa menggaet para pengusaha besar untuk bergabung dengan mereka.
Semasa pemerintahan Soeharto, tidak ada masalah. Untuk menggerakkan mesin pengumpul suara ini, mereka punya dana melimpah. Antara lain berasal dari sumbangan (tidak) sukarela pengusaha besar dan BUMN yang dikenal "basah". Selama pemerintahan Orde Baru masih sangat kuat, tidak ada yang berani mempermasalahkan dana nonbujeter ini. Yang lebih parah lagi, praktek semacam ini ditengarai masih berlangsung setelah Soeharto lengser, padahal ketika itu kontrol pers dan masyarakat sudah jauh lebih besar. Itulah sebetulnya yang diduga kuat telah terjadi dalam kasus yang menimpa Akbar kemarin ini.
Golkar adalah partai masa lalu. Kini ia telah kehilangan kesaktiannya berupa dana dari konglomerat dan dukungan bersenjata dari militer. Ini terbukti dalam Pemilu 1999. Golkar, yang meraih lebih dari 70 persen suara pada tahun 1997, dalam tempo dua tahun perolehan suaranya merosot drastis menjadi 20 persen pada Pemilu 1999. Berarti, dalam tempo hanya dua tahun, puluhan juta pemilih Golkar telah mengalihkan suara mereka kepada partai lain.
Bagi orang yang memanggul beban masa lalu, tidak ada jalan lain kecuali melepaskannya. Keputusan banding dan kasasi yang cepat dalam perkara Bulog II adalah modus untuk sekadar mengurangi penderitaan. Selanjutnya, lebih baik Akbar berkonsentrasi menulis autobiografi, yang tentu saja akan menarik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini