Ada sedikit yang mengherankan saya pada buku Islam Aktual, Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim (TEMPO, 27 Juli 1991, Rehal). Yakni, Jalaluddin Rakhmat, sang pengarang, mengatakan bahwa puasa Asyura adalah rekayasa politik Bani Umayah guna mensyukuri kematian musuhnya yang sekaligus cucu Nabi saw. Ringkasnya, Jalaluddin menolak adanya puasa sunah di hari Asyura. Alasan Jalaluddin ada dua. Yang pertama: karena hari itu adalah "hari berkabung" yang tak patut untuk disyukuri dengan puasa. Menurut saya alasan itu tidak logis dan tidak didasarkan atas dalil yang kuat. Jalal, sebagai cendekiawan, tidak sepatutnya ceroboh dalam menarik suatu kesimpulan, apalagi yany berkenaan dengan masalah agama Islam dan ibadah yang telah ditetapkan oleh utusan-Nya. Apakah karena kematian seseorang lalu kita akan meniadakan ibadah yang ditetapkan Allah? Bila kita mengikuti pendapat Jalal ini, bagaimana kalau "hari berkabungnya" bertepatan dengan Idul Fitri? Apakah kita akan meniadakannya dengan alasan hari berkabung tidak patut untuk disyukuri apalagi dirayakan? Begitu pula bila "hari berkabungnya" jatuh pada Idul Kurban, apakah kita tidak akan menyembelih binatang kurban? Lalu, berapa banyak ibadah yang diturunkan oleh Allah yang harus dinafikan hanya gara-gara "hari berkabung"? Ini tidak berarti saya tidak menghormati cucu Nabi saw. Sungguh, saya sangat menghormatinya. Tapi penghormatan saya tidak membabi-buta. Kita harus memperlakukan beliau sebagai hamba Allah yang sahih. Keahlulbaitannya tidak perlu dibesar -besarkan. Sebab, Nabi sendiri pernah mengatakan, jika Fatimah, anak beliau, mencuri akan dipotong tangannya oleh Rasul. Jadi, yang jelas, agama dan ketetapan Allah lebih didahulukan. Alasan Jalaluddin yang kedua adalah: hadis yang meriwayatkan puasa sunah Asyura tidak sahih (daif). Saya tidak mengerti dasar apa yang dipakai Jalaluddin untuk mendaifkan suatu hadis. Yang jelas, dari sekian banyak hadis tentang puasa Asyura di Shahih Buchari, tidak ada yang menunjukkan kelemahan. Kalau ada kelemahan tentang puasa Asyura, itu hanya sebagian. Alasan Jalaluddin kedua ini tidak dapat diterima. Jadi, puasa Asyura sampai saat ini belum bisa dinafikan. Dengan kata lain, tetap sunah menjalankan puasa Asyura sebagaimana dicontohkan Nabi. QARINA T. Kidul Dalem 503 Bangil Jawa Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini