Gelombang protes mengiringi penambahan frekuensi penarikan kupon SDSB. Sebuah alasan dikemukakan: guna menolong penyelenggara dari kebangkrutan (TEMPO, 10 Agustus 1991, Nasional). Bagaimana logikanya? Marilah kita buka mata hati, yang sering kita lupakan ketika mengambil keputusan, menatap "gaya hidup" kelas bawah. Lihatlah, berapa banyak uang SPP amblas, uang dapur menguap, uang kas keluarga ludes ditelan deretan angka. Bagaimana tangis anak balita yang kurang gizi terdengar memelas karena sang ayah lebih sayang pada angka ketimbang anaknya. Jatah untuk membeli susu si mungil ditukar dengan selembar "kue" SDSB. Janganlah malu-malu menengok potret buram perjalanan SDSB. Lihatlah, setiap Rabu dan Ahad (sejak SK itu keluar), mulai dari abang becak sampai pelajar berjejal mengundi nasib. Mereka merajut mimpi lewat angka-angka. Pikiran mereka sudah dipenuhi variasi angka-angka. Segala peristiwa dihubung-hubungkan dengan angka. Lalu diotak-atik, maka jadilah angka jitu, katanya. Dukun-dukun kaget bermunculan buka praktek. Agama terpaksa ditinggalkan dulu. Dan hidup hanyalah sebatas impian. Menyedihkan. Memang, yang paling merasakan adalah warga kelas dua: golongan rakyat jelata yang mendapat gelar "dermawan". Karena merekalah konsumer terbesar "kue" SDSB. Kemiskinanlah yang telah menghantarkan mereka pada jalan pintas ini: membeli mimpi. Dan ketika impian tak jua jadi kenyataan, nafsu memburu mimpi semakin menggebu. Itu berarti semakin banyak uang yang dihamburkan semakin kempes pula kantung yang tak tebal itu. Kemelaratan telah menjerat. Tidak hanya miskin harta, juga tak pula mempunyai kekayaan hati. Yah, akhirnya, memang sebuah lingkaran setan. Harus ada yang memutuskan mata rantainya. Dampak negatifnya? Fakta dan bukti telah bicara banyak. Dr. Soeroso, dosen FE Unair, telah menyajikan fakta-fakta tentang itu dari hasii penelitiannya. Kemudian DPRD Timor Timur merasa perlu membentuk panitia khusus guna membuktikan bahwa SDSB menjadi penyebab kelesuan ekonomi dan membangkitkan wabah kemalasan. Yang amat memprihatinkan adalah terjadinya "pencemaran" lingkungan bagi bocah-bocah manis sang generasi penerus bangsa. Beranikah kita menjamin bisa membentuk manusia Indonesia seutuhnya jika setiap hari menyaksikan orangtuanya berkutat dengan kode ramalan dan sejumlah tafsiran mimpi? Bagaimana implikasinya terhadap perkembangan psikologis anak? Akan kita biarkankah polusi mental memenuhi langit kehidupan kita? Pantaskah kita mewariskan sejumlah impian kosong kepada anak cucu kita? Jawabannya ada dalam nurani bening setiap insan. Adapun solusinya terdapat dalam kebijaksanaan yang arif dari para pemimpin bangsa. NUKE H. SETIA Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Sekip Utara - Yogyakarta 55281
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini