Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kembali ke Jalan Politik Hijau Muhammadiyah

Keputusan Muhammadiyah menerima izin tambang perlu dikoreksi. Ormas keagamaan ini harus kembali ke jalan politik hijau.

2 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Muhammadiyah punya peluang memainkan perannya dalam hal pemulihan ekologi.

  • Dengan atau tanpa partai politik, Muhammadiyah bisa memanfaatkan potensinya untuk memodernisasi kader menjadi gerakan politik hijau.

  • Muhammadiyah bisa jadi pembawa pesan kesadaran ekologi untuk semua kelompok.

AKHIRNYA Muhammadiyah menerima tawaran berbisnis tambang. Keputusan ini diambil saat dunia sedang memperingati satu tahun pernyataan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres yang mengumumkan era pendidihan global telah tiba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan Guterres itu mengkonfirmasi laporan ilmuwan atas rekor kenaikan suhu udara rata-rata bumi pada Juli 2023. "Udara tidak dapat dihirup. Panasnya tidak tertahankan. Tingkat keuntungan bahan bakar fosil dan tidak adanya tindakan untuk mengatasi perubahan iklim tidak dapat diterima," kata Guterres saat menjelaskan dampaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia juga menegaskan apa yang harus dilakukan. “Tidak ada lagi keraguan. Tidak ada lagi alasan. Tidak ada lagi menunggu orang lain bergerak lebih dulu.” Pernyataan ini berarti tanda bahaya darurat bagi umat manusia serta makhluk hidup lain di bumi.

Melihat kondisi tersebut, keputusan Muhammadiyah menerima izin usaha tambang sungguh keliru. Keputusan ini membahayakan umat sehingga wajib dikoreksi. Desakan penolakan dari lingkup internal bukannya tak ada. Sebanyak 1.340 anggota muda Muhammadiyah menyatakan penolakan atas keputusan itu, tapi tak digubris. 

Padahal sikap kader muda ini selaras dengan opini hukum Muhammadiyah yang menimbang bahwa tambang telah menimbulkan mudarat nyata dan manfaatnya masih spekulatif. Spekulatif berarti hipotetis atau hanya untung-untungan.

Tambang sebagai biang keladi pendidihan global sudah tak terbantahkan. Dampak buruk lainnya juga ada, dari konflik lahan dan sosial, perubahan struktur sosial dan budaya, gangguan kesehatan masyarakat, ketergantungan ekonomi, hingga meningkatnya angka kriminalitas. Masalah pascatambang juga menggunung. Duka akibat longsoran bekas tambang; tenggelamnya warga di lubang tambang; serta kontaminasi tanah, air, dan udara beracun tak boleh dilupakan.

Sebetulnya, dari aneka bahaya tambang tersebut, Muhammadiyah punya peluang memainkan perannya dalam hal pemulihan ekologi. Alih-alih menerima bisnis tambang, Muhammadiyah seharusnya menolak dan menawarkan program pemulihan serta transisi ekonomi pascatambang.

Sekilas keuntungan bisnis pemulihan pascatambang memang tidak sebesar profit sesaat dari bisnis utama pertambangan. Tapi, menimbang fakta bahwa tren ekonomi dunia yang makin menghindari energi kotor, keputusan ini lebih sensibel, visioner, dan memiliki manfaat jangka panjang. 

Melalui alternatif keputusan ini, dua kepentingan—menolak izin tambang ataupun yang ingin meningkatkan kesejahteraan organisasi—pun terpenuhi. Perbedaan sikap tersebut semestinya menjadi hikmah bagi Muhammadiyah agar lebih berperan dalam politik hijau.

Untuk menjadi ormas keagamaan yang mengusung politik hijau, Muhammadiyah jelas sudah memiliki modal: kekuatan akar rumput, sumber daya, aset, dan jejaring. Dengan atau tanpa partai politik, Muhammadiyah bisa memanfaatkan potensinya untuk memodernisasi kader menjadi gerakan politik hijau. Apalagi Indonesia memiliki jumlah orang muda relatif besar. 

Lalu bagaimana caranya? Kader muda Muhammadiyah adalah jawabannya. Survei Greenpeace melaporkan generasi muda Indonesia tidak kritis terhadap siapa yang bertanggung jawab terhadap ancaman kerusakan alam, pemanasan global, perubahan iklim, dan ketidakseimbangan ekologis. Maka Muhammadiyah bisa menugaskan kader mudanya untuk menyadarkan masyarakat sekaligus memimpin gerakan politik hijau. Para kader muda juga dapat direkrut untuk memulihkan kondisi sosial dan ekonomi pascatambang. 

Menurut riset Communication for Change (C4C), meski jumlah orang Indonesia yang pernah melakukan aksi kolektif membela lingkungan hidup masih sedikit, sebagian mengaku mau ikut kegiatan pelestarian. Riset itu juga mengkategorikan masyarakat yang peduli terhadap isu lingkungan: konvensional mapan peduli (33 persen), penggembira non-militan (28 persen), dan penjaga tempat kami (27 persen).

Pesan kepedulian iklim untuk tiga kelompok itu perlu dibingkai secara terpisah dan khusus. Muhammadiyah bisa menjadi pembawa pesan kesadaran ekologi untuk semua kelompok itu, termasuk masyarakat luas.

Islam mengajarkan hubungan hablum-minAllah, hablum-minannas, dan hablum-minal alam. Keseimbangan hubungan itu seharusnya menjadi tuntunan kader muda Muhammadiyah beraktivitas secara sederhana di tingkat tapak untuk menangkap kearifan ekologis lokal dari pusat sampai ranting. 

Dari tingkat terbawah, para kader muda bisa menggerakkan wirausaha dan koperasi melalui bisnis alternatif yang melawan bisnis monokultur atau ekowisata premium yang menggusur warga. Mereka dapat menjadi teladan gerakan politik dan Islam hijau yang sesungguhnya.

Konsep tersebut dapat menyempurnakan program Gerakan 1.000 Cahaya yang bertujuan mewujudkan emisi nol pada semua aset milik Muhammadiyah. Sebuah program radikal yang menegaskan posisi organisasi dalam krisis iklim. Dengan ambisi ini, Muhammadiyah tak akan sendirian. Para arsitek, insinyur, dan teknokrat hijau lainnya pasti akan membantu.   

Dalam politik hijau, Muhammadiyah sebetulnya sudah berada pada rel yang tepat. Pilihan itu cocok dengan ciri organisasi yang berbasis masyarakat, berorientasi pada masa depan, dan terbuka terhadap perubahan. 

Konsep politik hijau Muhammadiyah juga selaras dengan semua bidang kegiatannya, dari pembinaan umat, pendidikan, sosial, kesehatan, ekonomi, dan politik. Ikhtiar ini tak boleh dihentikan. Meski telanjur melenceng karena menerima tawaran izin tambang, kader-kader muda Muhammadiyah mesti meluruskannya. 

Muhammadiyah punya segalanya untuk menjadi ormas hijau. Kader muda progresif dan organisasi modern yang visioner. Semua imajinasi ini terwujud jika Muhammadiyah setia dengan jalan politik hijaunya.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan. Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.

John Muhammad

John Muhammad

Presidium Nasional Partai Hijau Indonesia (2021-2024)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus