Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjara, sebagian memang cerita yang seram. Dalam novel, cerita pendek, juga lagu, penjara adalah "rumah" yang harus dihindari. Vokalis Band D'Lloyd, Sjamsudin, di tahun 1970-an merekam lagu Hidup di Bui, dan meledak di pasaran sebelum lagu itu dilarang oleh pemerintah Orde Baru. Tapi tahun 1999 lagu ini kembali dipasarkan dengan format baru. Dengar sebagian liriknya:
Hidup di bui bagaikan burung Bangun pagi makan nasi jagung Tidur di ubin pikiran bingung Apa daya badanku terkurung
Terompet pagi harus bangun Makan diantri nasinya jagung Mau merokok rokoknya puntung Mau mandi tidak ada sabun
Itulah nasib orang hukuman. Karena itu dengarkan nasihat bijak sang nenek: "Cucu, jadilah orang baik, janganlah sampai jadi orang hukuman."
Eh, tunggu, siapa dulu yang dihukum? Kalau pencuri kambing yang dihukum setahun, mungkin benar tidurnya di ubin. Tetapi kalau konglomerat, katakanlah misalnya Bob Hasan, tentu saja tidak tidur di ubin. Ada tempat tidur, ada kasur, ada meja, ada kamar mandi, ada ruangan bercat baru, ada makanan cemilan, ada ini dan ada itu.
Lalu, bagaimana kalau yang dihukum itu Hutomo Mandala Putra? Hutomo alias Tommy yang ayahnya adalah Soeharto? Soeharto yang pernah berkuasa 32 tahun? Nasi jagung barangkali menu yang sudah tak ada dalam catatan petugas blok untuk jatah makan Tommy. Bahkan petugas sipir penjara tak perlu menjatahkan apa-apa untuk seorang Tommy. Tommy sudah ada yang mengurus, yang membuat ia menikmati penjara seperti halnya ia menikmati dunianya di luar penjara.
Begitu Tommy masuk di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur, segera Dewi Keadilan menitikkan air matanya. Tak ada keadilan yang berpihak pada napi di luar Tommy, sebutlah itu mantan menteri seperti Rahardi Ramelan yang di-titipkan di sana sebagai tahanan dan bukan (atau belum) napi. Rahardi masih suka bercelana pendek dan berkaus oblong tipis, saking panasnya udara Jakarta ini, apalagi di dalam penjara yang tertutup rapat. Rahardi pun masih terlihat pasrah mengecat dinding-dinding penjara, entah untuk mencari kesibukan atau agar "rumah sementaranya" lebih layak untuk dihuni. Tetapi Tommy? Bak seorang pangeran, kehidupannya sehari-hari di luar penjara tak bisa ia ganti begitu saja. Penjaralah yang ia ganti.
Ia mendapat blok khusus, yang cuma berisi tiga ruangan. Itu pun kini kosong, karena atas nama ketakutan akan cerita seram penjara, ruang yang tidak ditempati Tommy itu tidak boleh diisi tahanan yang lain. Sungguh ironis di tengah-tengah kapasitas penjara yang sudah melebihi daya tampung. Ada manusia yang hidup berdesak-desakan didera panasnya udara, ada manusia yang hidup sendirian dalam udara yang segar menyejukkan, plus serangkaian bunga tulip. Padahal status manusia itu sama saja: terdakwa.
Kenikmatan seperti itu juga belum cukup buat seorang Tommy. Fungsi penjara atau nama yang kini dipermanis menjadi lembaga pemasyarakatan sebagai tempat orang dihukum, tempat orang harus merenungi kesalahannya agar tidak diulangi di kemudian hari, dan juga tempat orang untuk bertobat—kalau mau—juga sudah terjungkir balik. Tommy tak me-lakukan hal-hal yang diniatkan sebagaimana fungsi penjara yang sebenarnya. Karena ia masih bebas menjalankan aktivitas rutinnya sebagaimana ia ketika berada di luar penjara. Misalnya, menjalankan bisnis perusahaannya yang begitu banyak. Sekretarisnya setiap hari datang. Selain membawa makanan, kembang, pakaian, juga membawa laporan perkembangan usahanya. Tommy masih menentukan ke mana arah perusahaan dari balik jeruji penjara. Lalu, apa artinya sederet peraturan yang dikeluarkan oleh pengelola penjara? Apa artinya jam besuk, ruang besuk, pembatasan besuk? Bahkan bagi Tommy dan orang-orangnya, dengan sikap yang sangat enteng barangkali akan bertanya, apa sih artinya penjara ini?
Kerajaan Tommy di Cipinang sebenarnya sebuah cerita yang sudah merebak sebulan atau dua bulan lalu. Kisah-kisah seperti ini, meskipun dicoba ditutup-tutupi, dengan mudah menyebar ke mana-mana, karena di penjara tidak ada yang rahasia. Henri Charriere dalam novel Papillon memberi renungan lewat tokoh Papillon, sang napi itu: "Di penjara, bahkan dinding-dinding pun bermata dan bertelinga."
Kalau begitu halnya, semestinya kepala penjara atau pejabat tinggi yang menangani penjara tentunya juga punya mata dan telinga—dinding saja punya kok. Persoalan sekarang, dan ini pertanyaan yang sebenarnya tak tega untuk diajukan, apakah kepala penjara dan para sipir itu juga punya hati dan perasaan? Kalau punya, ke manakah hati dan perasaan itu ditambatkan? Tentunya tidak semata-mata kepada Tommy, karena ia hanya seorang diri. Tentu hati dan perasaan itu dilabuhkan juga kepada ribuan napi, manusia-manusia yang juga punya harkat, martabat, harga diri, dan keluarga yang menunggu dengan doa dan kesabaran tinggi di luar tembok penjara. Kalau hati dan pe-rasaan itu bisa memperkuat indra mata dan telinga untuk memahami masalah napi secara keseluruhan, sangatlah tidak beradab jika puluhan napi harus dipindahkan malam-malam hanya untuk kenikmatan seorang tahanan yang bernama Tommy. Sangat tidak manusiawi, seorang ibu menenteng rantang berisi sayur kangkung, antre berjam-jam menunggu pintu penjara dibuka, hanya untuk menengok putranya yang dihukum gara-gara menjambret sebuah tas. Sementara sekretaris, pengawal, dan keluarga Tommy hilir-mudik ke penjara lewat pintu yang lain. Sebuah pintu yang menyiratkan betapa kekuasaan dan uang sudah menjadikan Dewi Keadilan hanya semata-mata lambang tanpa arti.
Kembalikan penjara kepada fungsinya: tempat orang menerima hukuman, bukan tempat orang melecehkan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo