Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMISI Pemberantasan Korupsi seharusnya cepat bertindak ketika Suwarna Abdul Fatah mengungkapkan dirinya diperas penyidik Komisi. Sebab, kalau Suwarna berkata benar, ini sungguh kelewat batas: penyidik KPK menetapkannya sebagai tersangka karena ia menolak memberikan suap. Suwarna, yang pekan lalu divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 18 bulan penjara, yakin tak bersalah dan merasa menjadi korban penyidik KPK.
Untuk menyegarkan ingatan, kasusnya begini. Suwarna diperiksa KPK sejak Oktober 2005 dalam perkara proyek sejuta hektare lahan kelapa sawit di Kalimantan Timur. Ketika diperiksa, ketua tim penyidik KPK, Ajun Komisaris O.H. Napitupulu, menyampaikan selembar surat. Isinya, permintaan dari Komisaris Besar Djaswardana agar Suwarna membantu dia membeli sebuah rumah di Kalimantan Timur yang sekarang ditempati keluarganya. Nama terakhir ini adalah bekas penyidik KPK, pernah menjadi atasan O.H. Napitupulu, dan sekarang menjabat Direktur Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah Jawa Barat.
Agak mengecewakan mendengar respons KPK. Para petinggi Komisi menyatakan pihaknya tidak punya kewenangan memeriksa dua bekas penyidiknya. Bekas? Rupanya O.H. Napitupulu sudah mengundurkan diri, sementara Djaswardana bertugas di luar KPK. Seharusnya KPK membuat pengaduan atas ulah dua bekas stafnya itu dan bukan berdiam diri dengan mengatakan tak ada tindakan hukuman apa pun yang bisa dilakukan KPK.
Bukan sekali ini Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat sorotan lantaran kelakuan miring penyidiknya. Sebagai lembaga pengusut korupsi kelas kakap, para penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sebagian besar berasal dari kejaksaan dan kepolisian, rupanya kerap tergoda untuk ”bermain api” dengan kasus yang mereka tangani. Dalam kaitan itu, sinyalemen yang dilontarkan pengacara Suwarna, Sugeng Teguh Santoso, layak diperhatikan. Banyak penyidik KPK melakukan tindakan tak terpuji, hanya mereka luput dari pengawasan.
Kita masih ingat kasus Ajun Komisaris Polisi Suparman, penyidik KPK yang ditangkap karena memeras sejumlah saksi dalam kasus korupsi di PT Industri Sandang Nusantara. KPK dengan cepat menyidik kasus ini. Suparman ditangkap, kemudian dijerat dengan Undang-Undang Antikorupsi dan Undang-Undang KPK.
Karena menyangkut bekas anggota Komisi, sesuai dengan UU KPK, hukumannya ditambah sepertiga dari ancaman pidana pokok. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengganjar Suparman delapan tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Tindakan tegas KPK saat itu mendapat pujian banyak orang.
Karena itu, tindakan yang sama harus dilakukan terhadap Djaswardana dan Napitupulu. Sebagai lembaga yang diharapkan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi, KPK tidak boleh mentolerir sedikit pun hal-hal seperti ini. Jika pun Suwarna telah melaporkan pemerasan atas dirinya kepada Tim Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) Kejaksaan Agung, ini pun bukan jadi alasan KPK berdiam diri.
Dalam fungsinya sebagai lembaga supervisi, KPK bisa bekerja sama dengan kejaksaan mengusut kasus ini atau meminta kejaksaan menyerahkan ”kasus dua penyidik pemeras” tersebut kepada mereka. KPK perlu terus membersihkan diri dari bibit-bibit penyakit korupsi. Komisi harapan orang banyak ini tak boleh berlagak pilon, apalagi membiarkan kasus ini berlalu begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo