Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah tak perlu gengsi mengimpor beras bila kita memang membutuhkannya. Tak perlu khawatir dituduh telah gagal menerapkan target swasembada. Jangankan swasembada, mencegah kelangkaan bahan makanan utama itu saja kita belum mampu. Maka tak ada jalan lain, impor beras perlu dilakukan. Impor bukan berarti tidak pro-petani lokal. Kepentingan rakyat, terutama di tingkat bawah, yang rentan terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok, harus diutamakan.
Kenaikan harga akibat langkanya beras amat terasa dalam beberapa bulan terakhir. Sejak pertengahan tahun, harga beras (medium) merangkak dari Rp 9.000 menjadi Rp 10.200 per kilogram pekan lalu. Kekeringan di sejumlah daerah akibat udara panas El Nino memperparah situasi. Akibatnya, harga beras naik dalam sebulan terakhir.
Sayangnya, Presiden Joko Widodo—bersama dengan Kementerian Pertanian—tidak melihat itu sebagai ancaman. Jokowi dan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan stok beras di Bulog sebanyak 1,7 juta ton sudah cukup aman, karena itu tak perlu impor.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, juga Kementerian Perdagangan dan Bulog, punya pendapat berbeda. Kalla memperkirakan Indonesia butuh 2,3 juta ton beras. Ini adalah angka minimal agar stok aman. Perhitungan Kalla sederhana. Menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, dalam setahun kita membutuhkan 28 juta ton beras. Artinya, sebulan perlu 2,3 juta ton. Jadi, bulan ini kita akan kekurangan 600 ribu ton beras.
Bahkan, kalaupun angka 2,3 juta ton tercapai, masih riskan. Harus diperhitungkan faktor cuaca yang tidak menguntungkan. Pada pertengahan tahun, saat El Nino belum melanda, kita memiliki stok untuk 4-6 bulan. Namun jumlah itu terus tergerus. Tiadanya hujan dalam enam bulan terakhir telah menyebabkan gagal panen.
Stok Bulog diperkirakan terus menyusut. Penyebabnya, panen beras di daerah lumbung padi seperti Jawa Barat dan Jawa Timur gagal akibat padi puso. Bisa jadi, panen baru terjadi lagi pada Januari depan. Ancaman belum usai karena setelah El Nino ada potensi bakal terjadi La Nina, yang bisa berakibat banjir di sejumlah daerah.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menepis kekhawatiran itu. Mengutip data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, Menteri yakin El Nino akan berakhir pada Oktober ini. Kalaupun itu benar, dan mulai bulan ini petani menanam padi, mereka baru bisa memanennya pada akhir Desember atau Januari. Jika stok beras di Bulog hanya cukup untuk bulan ini dan panen baru pada Januari, dari mana pemerintah harus memenuhi kebutuhan beras untuk November dan Desember?
Impor bisa menjadi solusi dengan sejumlah syarat ketat. Pertama, pemerintah harus memastikan data yang benar. Sudah lama lembaga-lembaga pemerintah tidak memiliki pendapat yang sama mengenai data kebutuhan pokok. Kita bahkan tidak pernah sepakat tentang berapa konsumsi beras per hari per orang. Badan Pusat Statistik, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan lembaga lain memiliki data yang berbeda-beda.
Hal kedua yang harus dipastikan adalah tidak adanya penimbunan oleh pedagang. Salah satu penyebab kelangkaan beras adalah penimbunan. Jika ini benar, solusinya adalah membongkar mafia beras, bukan dengan impor. Namun, jika tak ada indikasi penimbunan, pemerintah harus segera membuka keran impor. Ini agar harga tak terus membubung tatkala daya beli masyarakat menurun akibat kelesuan ekonomi.
Impor hanya solusi sementara dan Presiden tak perlu gengsi melakukannya. Sembari tetap mengupayakan swasembada, impor yang terukur bukanlah dosa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo