Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RANCANGAN Undang-Undang Pemberantasan Korupsi ini memang kontroversial. Di tengah gegap-gempitanya pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan ”perang” terhadap korupsi, RUU ini justru ”menghabisi” dua lembaga penting pemberantasan korupsi: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Dibahas sejak setahun silam, RUU ini akan menggantikan Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang kini berlaku (UU Nomor 20 Tahun 2001). Sejumlah aturan baru yang diadopsi dari Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa dimasukkan. Misalnya, korupsi tak lagi didefinisikan sebagai perbuatan merugikan negara, tapi lebih ”melebar”. Penyalahgunaan pengaruh, misalnya, bisa mengakibatkan seseorang dijadikan tersangka korupsi. Memeriksa pejabat yang tersangkut perkara korupsi juga tak perlu lagi izin presiden—sesuatu yang maju, memang.
Tapi RUU Pemberantasan Korupsi ini berpendapat lain ihwal peran dan fungsi KPK serta Pengadilan Tipikor. Rancangan ini menggariskan, penuntutan kasus korupsi hanya bisa dilakukan oleh instansi kejaksaan. KPK, yang selama ini memiliki kewenangan melakukan pemeriksaan, penyelidikan, dan penuntutan perkara korupsi, hanya ”bertugas” sampai tingkat penyidikan. Tahap penuntutan menjadi ”jatah” kejaksaan. Berkas penuntutan harus dilimpahkan ke pengadilan umum.
Jika kelak disahkan, selain mengamputasi kewenangan KPK, RUU ini memang merontokkan keberadaan Pengadilan Tipikor. Di sini bisa muncul ironi. Undang-Undang Pemberantasan Korupsi justru ”menghilangkan” dua lembaga penting dalam pemberantasan korupsi. Padahal KPK dulu dibentuk karena pemerintah dan DPR memandang harus ada lembaga superbodi untuk memberantas ”penyakit” korupsi yang sudah akut di negeri ini. Lewat UU Nomor 30 Tahun 2002, dibentuklah KPK dan Pengadilan Tipikor.
Memang Mahkamah Konstitusi belakangan membatalkan keberadaan Pengadilan Tipikor. Mahkamah menyatakan Pengadilan Tipikor harus diatur dalam undang-undang tersendiri, tidak ”menempel” ke Undang-Undang KPK. Dalam putusannya Desember lalu, Mahkamah memerintahkan segera dibentuk undang-undang yang mengatur pengadilan khusus tersebut. Mahkamah memberi waktu tiga tahun kepada pemerintah dan DPR untuk menyelesaikan pembuatan Undang-Undang Tipikor.
Seharusnya tim perumus RUU Pemberantasan Korupsi yang baru tidak gegabah memotong kewenangan KPK dan ”memberangus” Pengadilan Tipikor. Kita tahu, selama ini, salah satu penyebab lolosnya para koruptor dari jerat hukum adalah tidak profesionalnya jaksa dan hakim dalam memutus perkara. Di luar itu, ada penyebab lain yang sudah menjadi rahasia umum. Para penegak hukum itu ”bermain mata” dengan para koruptor.
Karena itu, tim perumus RUU ini sebaiknya mengkaji ulang rancangan yang belum diserahkan ke DPR tersebut. Ini penting agar jangan sampai semangat pemberantasan korupsi dalam RUU itu kelak loyo di lapangan lantaran tak didukung aparat dan perangkat memadai. Lebih baik RUU tersebut direvisi dan isinya justru mendukung serta menguatkan KPK dan Pengadilan Tipikor.
Majalah ini berpendapat pemerintah dan DPR kini harus segera membuat RUU Pengadilan Tipikor. Penyelesaian RUU Pengadilan Tipikor harus menjadi prioritas, ketimbang menuntaskan RUU Pemberantasan Korupsi. Itu bukan karena RUU Pemberantasan Korupsi baru tak penting, melainkan lantaran pembentukan UU Pengadilan Tipikor dibatasi tenggat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo