Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Serbuan Made in China

19 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banjir barang buatan Cina di Indonesia disikapi amat berbeda oleh dua kelompok masyarakat di Indonesia. Pihak konsumen umumnya merasa senang dengan keberadaan berbagai jenis barang dari Tiongkok karena harganya murah. Sebaliknya, para pemilik dan pengelola industri dalam negeri merasa ce-mas karena semakin beratnya persaingan yang dihadapi. Buktinya, sejumlah pabrik terpaksa tutup dan para karyawannya menjadi penganggur.

Bergugurannya pabrik di sektor manufaktur ini layak dirisaukan. Profesor Lie Tek Tjeng malah mengatakan proses deindustrialisasi sedang berlangsung di Indonesia. Peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini menyimpulkan pemerintah perlu menyusun strategi yang tepat untuk menghadapi kecenderungan Cina menjadi pusat kegiatan manufaktur dunia. Nasihat Lie Tek Tjeng jelas perlu diperhatikan.

Persoalannya sekarang adalah strategi seperti apa yang harus dilakukan pemerintah. Indonesia saat ini meraih keuntungan dari kegiatan perdagangan bebas dunia karena pendapatan ekspor negeri ini boleh dikatakan selalu lebih baik daripada belanja impornya. Bahkan dengan Republik Rakyat Cina pun Indonesia selalu menikmati surplus dalam neraca perdagangan bilateral. Maka menerapkan kebijakan proteksi seperti yang mulai disuarakan sejumlah kalangan jelas bukan jawabannya

Indonesia malah seharusnya berupaya keras agar menjadi bagian penting dari kegiatan transaksi bisnis di dunia. Sejarah menunjukkan kejayaan bangsa selalu diraih setiap kali wilayah Nusantara berhasil menjadi bandar perdagangan dunia. Lahirnya jalur perdagangan laut antara Cina dan India pada abad keenam melahirkan Kerajaan Sriwijaya. Berkembangnya perdagangan rempah di dunia internasional pada abad ke-12 melambungkan komunitas persinggahan pedagang di pantai utara Pulau Jawa, dan Kerajaan Majapahit pun lahir.

Sejarah emas ini sangat mungkin berulang. Pasalnya, Cina dan India, dua negara yang paling banyak penduduknya di dunia, sedang mengalami pertumbuhan ekonomi paling cepat sejagat. Kegiatan niaga di antara dua calon raksasa ekonomi dunia ini pun terus melambung dan ini memberi peluang emas bagi kita. Bukankah Indonesia terletak di tengah jalur lalu lintas pengangkutan laut ke-dua negara itu?

Pertanyaannya sekarang: bagaimana memanfaatkan peluang ini? Cara di zaman Sriwijaya dan Majapahit jelas tak lagi relevan karena kapal laut yang melayari jalur Cina-India zaman sekarang tentu tak perlu lagi singgah untuk mengisi perbekalan seperti di zaman dulu. Yang lebih relevan kelihatannya menjadi pemasok bahan baku kebutuhan industri Cina dan India karena Indonesia memang kaya dengan komoditas yang mereka butuhkan, seperti hasil perkebunan dan galian tambang.

Laporan neraca perdagangan nasional menunjukkan skenario ini telah berjalan. Ekspor komoditas Indonesia ke Cina mengalami kenaikan pesat tak cuma dari sisi volume, tapi juga dari harga. Di satu sisi, hal ini menggembirakan, tapi di sisi lain merisaukan. Tanah air tercinta ini tentu tak akan memiliki masa depan terlalu cerah jika hanya mengandalkan ekspor bahan baku dan mengimpor barang jadi. Walhasil, para pemimpin negeri ini harus memeras otak menyusun strategi agar perekonomian nasional lebih berlandaskan pada kegiatan yang punya nilai tambah tinggi.

Ada dua kutub pemikiran dalam mengatasi masalah ini. Di satu kutub, persoalan ini disandarkan pada pemerin-tah, yang dianggap mampu menyusun sebuah rencana yang canggih. Di ujung yang lain, kepercayaan lebih diberikan kepada masyarakat yang, bila diberi kebebasan untuk melakukan kiprah ekonomi, pasti akan menemukan cara terbaik buat menghadapi tantangan ini.

Majalah ini lebih condong percaya pada kecerdasan masyarakat tanpa bersikap anti terhadap peran pemerintah. Masyarakat yang diberi kemerdekaan untuk melakukan kegiatan ekonomi pada akhirnya akan menghasilkan pasar yang kompetitif. Peran pemerintah adalah menegakkan aturan main yang memungkinkan perniagaan berlangsung dengan adil, misalnya dengan memastikan bahwa setiap peraturan dijalankan dengan tegas, tanpa pilih bulu, secara konsisten, dan transparan.

Sejarah telah membuktikan bahwa pemerintah seperti ini, yang tak secara langsung mengintervensi kegiatan ekonomi bangsa dan lebih berperan menjaga agar kegiatan niaga berlangsung aman dan adil, lebih berhasil membawa bangsanya ke era kejayaan. Sebaliknya, campur tangan kekuatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi hanya berhasil untuk jangka pendek dan umumnya berujung pada kebangkrutan. Keruntuhan ekonomi Uni Soviet adalah contohnya. Contoh yang lain, yang terjadi di masa silam tapi secara geografis lebih relevan, adalah kebangkrutan VOC pada 1799. Perusahaan yang mendapat monopoli dari pemerintah ini sempat menjadi perusahaan terbesar di dunia, tapi akhirnya terjerembap karena tak mampu bersaing secara sehat.

Serbuan made in China yang sekarang terjadi adalah pertanda kebangkitan ekonomi Cina. Tantangan bagi kita adalah bagaimana memanfaatkannya menjadi pemicu kebangkitan ekonomi Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus