Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah empat tahun usia pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla, tapi penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dijanjikan dalam program Nawacita tidak tersentuh sama sekali. Tak ada ikhtiar serius, apalagi ”total football” sebagaimana yang Jokowi lakukan untuk urusan lain seperti mempercepat pembangunan infrastruktur.
Dalam dokumen Nawacita yang diteken di awal pemerintahan, Jokowi-Kalla memprioritaskan sembilan agenda. Salah satunya reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya. Prioritasnya adalah menyelesaikan secara berkeadilan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat pada masa lalu.
Tekad itu kemudian dituangkan dalam rencana kerja jangka panjang nasional. Pemerintah bahkan menyampaikannya di depan korban tragedi 1965 di Simposium Nasional Tragedi 1965 dua tahun lalu. Dalam pidato kenegaraan Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Agustus lalu, Presiden pun menegaskan, ”Pemerintah berupaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus hak asasi manusia pada masa lalu serta meningkatkan perlindungan HAM agar kejadian yang sama tak terulang.”
Retorika singkat satu paragraf itu—berbeda dengan pembangunan ekonomi yang ditulis beberapa halaman—tak kunjung diwujudkan. Kasus pelanggaran hak asasi malah makin bertambah, seperti yang terjadi di Papua. Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 69 kasus pembunuhan ekstrayudisial selama delapan tahun terakhir yang tidak diusut di provinsi itu.
Tak cuma di Papua, pelanggaran hak asasi juga kian marak di banyak wilayah lain. Di antaranya kasus penutupan sejumlah tempat ibadah umat Kristiani dan Ahmadiyah, pembubaran kegiatan yang berkaitan dengan peristiwa 1965, dan penyerangan terhadap Novel Baswedan.
Dalam soal pelanggaran HAM masa lalu, Presiden memang sudah menemui keluarga korban penembakan Trisakti serta Semanggi I dan II yang tergabung dalam Aksi Kamisan. Ia berjanji menuntaskan kasus itu sesuai dengan visi Nawacita. Tapi, ironisnya, pemerintah kemudian ingin menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi dengan cara musyawarah lewat Dewan Kerukunan Nasional.
Pembentukan Dewan Kerukunan jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mengamanatkan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia lewat meja hijau. Undang-undang ini juga memberikan kewenangan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki pelanggaran kasus HAM.
Komnas HAM sebetulnya sudah merampungkan penyelidikan sejumlah tragedi masa lalu. Di antaranya penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989, tragedi penembakan mahasiswa Trisakti 1998, dan tragedi Semanggi. Tapi nasib berkas penyelidikan yang sudah diserahkan ke kejaksaan itu seperti bola pingpong—dikembalikan lagi oleh kejaksaan.
Presiden Jokowi sebenarnya bisa dengan mudah memerintahkan Jaksa Agung mengusut kasus hak asasi masa lalu yang sudah diselidiki Komnas HAM. Ia juga bisa segera membentuk pengadilan HAM ad hoc dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Rekonsiliasi boleh saja ditempuh, tapi harus didahului dengan proses hukum. Tanpa diketahui siapa dalang dan pelaku yang bersalah melalui pengadilan, rekonsiliasi hanya akan melanggengkan impunitas. Jika itu yang terjadi, penyelesaian kasus hak asasi manusia akan makin jauh dari yang dijanjikan dalam Nawacita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo