Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemilihan kepala daerah serentak sudah berakhir.
Kini yang tersisa hanyalah orang-orang yang memprotes, terutama pihak yang kalah.
Idealnya kita puasa sejenak untuk cawe-cawe soal politik.
Pemilihan kepala daerah serentak sudah berakhir. Tinggal menunggu kepastian secara resmi siapa yang menang dan siapa yang kalah, meski orang sudah tahu dari hasil hitung cepat. Yang menggembirakan adalah mulai ada rasa lapang jika kita keluyuran di jalan. Baliho dengan tampang para politikus sudah tak ada lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini yang tersisa hanyalah orang-orang yang memprotes, terutama pihak yang kalah. Lalu saling sindir, saling menyalahkan, bahkan caci maki. Tapi sepanjang itu dilakukan di media sosial dan kanal berita online, kita bisa cuek dengan mematikan perangkat. Butuh tenang itu bisa dilakukan dengan mudah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Idealnya adalah bisakah kita puasa sejenak untuk cawe-cawe soal politik? Terlalu riuh urusan politik diumbar. Apalagi bagian yang diumbar itu adalah sisi negatifnya. Tak ada pelajaran apa pun yang bermanfaat dalam keriuhan politik pasca-pemilihan umum dan pilkada kali ini. Rakyat tak mendapat pendidikan politik di sekitar hajatan itu. Justru yang didapat adalah saling curiga, perpecahan umat, dan tontonan bagaimana perilaku pejabat negara yang sulit dipercaya omongannya. Ada mantan presiden yang berjanji akan istirahat setelah lengser, ternyata menjadi juru kampanye saat pilkada. Ada presiden yang menyerukan kepada pemimpin untuk netral dan menjadi pemimpin semua golongan, ternyata memberikan dukungan nyata kepada salah satu pasangan calon. Petugas keamanan menjadi ujung tombak pengerahan massa secara terbuka, tak lagi mengayomi semua warga. Muncul istilah Parcok, singkatan dari Partai Cokelat, yakni seragam kepolisian negara yang tak lagi netral. Semua hal yang seharusnya salah itu ternyata bisa dibenar-benarkan dengan mencari celah dari aturan yang ada.
Sakit kita ketika hajatan pemilu dan pilkada mempertunjukkan tontonan yang memalukan ini.
Lebih menyakitkan lagi karena tanda-tanda untuk jeda urusan politik kotor ini, politik untuk merebut kekuasaan semata, terus menyambung. Seusai pilkada, para elite partai sudah mulai berhitung bagaimana proyeksi kepemimpinan lima tahun mendatang. Siapa yang diprediksi muncul sebagai calon presiden dan wakil presiden pada 2029.
Astaga! Urusan lima tahun lagi sudah mulai diomongkan sekarang. Boleh-boleh saja, tapi prioritas sebagai pemimpin bangsa seharusnya bagaimana memperbaiki kesejahteraan rakyat. Cobalah porsi kegiatan itu diberi perhatian lebih banyak. Peternak sapi perah membuang berton-ton susu murni karena tak diserap pabrik, sementara pemerintah terus mengimpor susu dan wakil presiden dengan senang hati membagikan susu itu kepada anak sekolah. Pabrik tekstil gulung tikar karena kalah bersaing dengan tekstil impor. Swasembada pangan apa benar dilaksanakan, sementara program makan bergizi gratis sudah mendapat bantuan dari Cina.
Lembaga negara juga lagi rusak-rusaknya. Pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital yang seharusnya memblokir aplikasi judi online justru memeliharanya. Triliunan rupiah mengalir ke bandar judi di luar negeri. Korban sudah berjatuhan dan Jaksa Agung pun mengakui ratusan pegawainya ikut bermain judi online, tapi hanya iseng. Ya, di mana-mana judi online itu adalah “keisengan” karena kita bisa melakukannya sambil tidur di rumah atau kerja di kantor. Lawan tak nyata karena kita tinggal pencet angka-angka di handphone.
Partai Cokelat—sindiran yang sudah umum untuk kepolisian negara dalam kaitan ketidaknetralan dalam pilkada—juga dilanda skandal. Ada polisi tembak mati polisi. Ini hal serius. Polisi yang mati adalah “polisi bersih” dan penembaknya adalah polisi yang membekingi tambang liar. Apa main beking-bekingan ini cuma terjadi di Sumatera Barat? Bagaimana dengan polisi yang menjadi beking judi, baik online maupun offline, seperti judi sabung ayam, misalnya?
Banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah dan aparat negara jika prioritasnya adalah mengayomi rakyat. Pemilu dan pilkada seharusnya selesai ketika penghitungan suara disahkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Dan tugas pemerintah kembali mengajak rakyat bekerja sesuai dengan profesi yang dipilih. Para politikus silakan bertengkar, tapi janganlah diumbar di ruang publik. Pejabat negara, termasuk presiden, harus memberi contoh bahwa mereka adalah presiden untuk seluruh bangsa. Abaikan argumentasi Badan Pengawas Pemilu yang membolehkan presiden memihak jika dilakukan pada hari libur dengan alasan pada hari libur itu urusan pribadi. Jadi di hari libur negara tak punya presiden?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo