Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dilema palsu adalah kekeliruan argumen yang didasarkan pada premis yang keliru karena membatasi pilihan yang tersedia.
Padahal, ketika memilih calon yang buruk, pada dasarnya kita membenarkan tindakannya.
Kesetiaan pada pilihan yang baik, meskipun tidak populer, merupakan hal yang dibutuhkan untuk mengoreksi pilihan buruk.
"Don't vote for the lesser evil. Fight for the greater good."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ITULAH argumen Jill Stein, calon Presiden Amerika Serikat 2024-2028 dari Partai Hijau, tatkala diminta mundur untuk mendukung Kamala Harris (Partai Demokrat) agar Donald Trump (Partai Republik) dapat dikalahkan. Stein menolak memberikan dukungan karena menilai Harris sama buruknya dengan Trump, terutama karena kedua kandidat itu punya posisi berbeda dengan dirinya dalam hal dukungan terhadap kemerdekaan Palestina serta meyakini Israel melakukan genosida.
Kita kerap dihadapkan pada pilihan politik yang tidak kita sukai. Baik karena kualitas semua calon yang tersedia buruk atau tidak ada yang benar-benar mewakili kepentingan kita. Dalam situasi ini, seperti saat kita harus memilih di pemilihan kepala daerah atau pilkada, kita sering kali terjebak dalam dilema palsu. Dilema palsu adalah kekeliruan argumen yang didasarkan pada premis yang keliru karena membatasi pilihan yang tersedia.
Salah satu dilema palsu yang paling umum adalah penggunaan prinsip "the lesser evil”, di mana kita harus memilih yang lebih baik daripada pilihan yang buruk. Prinsip ini juga didukung dengan dalil agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam fikih Islam ada anjuran menggunakan kaidah memilih yang mudaratnya lebih ringan tatkala dihadapkan dengan pilihan yang sama-sama kurang menguntungkan. Karena penerapan yang keliru dari pertimbangan itu, akhirnya orang menerima tindakan “necessary evil” atau kejahatan yang diyakini harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang lebih baik.
Kemudian kita terpaksa memilih calon yang buruk karena dia lebih besar peluangnya untuk mencegah kemenangan calon yang lebih buruk. Bahkan kita akhirnya ikut-ikutan melakukan kecurangan karena toh lawan juga melakukan kecurangan pemilu.
Padahal, ketika memilih calon yang buruk, pada dasarnya kita membenarkan tindakannya. Sekecil apa pun itu, kita dengan sadar dan rela menerima kejahatan. Bahkan melakukan kecurangan hanya karena dicurangi justru memperparah keadaan. Karena, "two wrongs don’t make a right." Kesalahan yang berulang atau menormalisasi hal buruk karena sudah lazim tidak dapat dibenarkan.
Kesetiaan pada pilihan yang baik, meskipun tidak populer, merupakan hal yang dibutuhkan untuk mengoreksi pilihan buruk. Ketika memilih yang baik, otomatis kita menolak kejahatan. Otomatis kita percaya bahwa ada kebaikan yang bisa dimenangkan.
Perbaikan tidak akan terjadi dengan sendirinya. Perbaikan membutuhkan orang-orang yang setia pada pilihan yang baik. Keadaan yang lebih baik hanya mungkin terjadi jika pilihan yang baik diutamakan. Meski itu pilihan yang sulit dan tidak umum, kita harus tetap memilih yang sesuai dengan nilai dan yang berpotensi membuat perbedaan.
Gerakan coblos semua pasangan calon dan memenangkan kotak kosong adalah akumulasi kekecewaan rakyat terhadap rekayasa elite politik menjelang pilkada. Karena kita digiring untuk memilih calon yang sudah dikondisikan, aturan yang dibengkokkan, dan pengawas yang tertutup matanya, bahkan terang-terangan berpihak.
Tujuan dari mencoblos semua pasangan calon adalah menghasilkan suara tidak sah atau protest voting. Sedangkan tujuan memenangkan pilihan kotak kosong atas pasangan calon tunggal adalah pemilihan kepala daerah ulang.
Sekilas, kedua hal itu berbeda, tapi sama-sama membawa pesan koreksi kepada sistem demokrasi kita. Keduanya adalah bentuk dari pembangkangan elektoral (electoral disobedience) yang menjadi bagian dari gerakan pembangkangan sipil yang damai atau beradab (civil disobedience). Dan, secara filosofis, keduanya merupakan upaya kita menghindari pilihan the lesser evil.
Lantas, adakah the greater good atau kebaikan yang lebih besar dalam situasi Indonesia saat ini?
Dalam pemilihan kepala daerah yang digelar hari ini, sebenarnya siapa pun yang menjadi lawan dari praktik-praktik curang, nepotisme, dan korup memiliki potensi menyandang the greater good. Baik mereka yang telah menetapkan diri sebagai oposisi, penantang atau diam-diam melawan. Bentuk dan cara oposisi tidak perlu seragam, tapi harus ditetapkan standar oposisi yang tertinggi, yakni oposisi yang otentik dan ideal.
Sebab, para pencoleng demokrasi paham, apa pun pilihannya, selama itu tersedia, rakyat akan tetap memilih. Mereka tinggal terus-menerus memasok pilihan-pilihan buruk untuk dipilih, sehingga akhirnya kita makin jauh dari standar pilihan yang ideal. Dalam pemilu Amerika Serikat, Stein memang kalah, tapi dia memberikan standar pilihan lain yang diyakininya sebagai the greater good bagi negaranya.
Karena itu, gerakan coblos semua dan memenangkan kotak kosong harus berorientasi pada pembangunan oposisi yang ideal. Fungsi mereka adalah memicu oposisi lain untuk lebih progresif. Bersama-sama melahirkan pilihan-pilihan lain yang lebih baik.
Seperti pesan mendiang Nur Hidayati, mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, saat saya menyoal dilema bisnis yang merusak alam tapi tetap didukung warga. Ia menjawab, “Itu bukan dilema. Cari sebab mengapa mereka setuju. Periksa semua dimensi masalahnya.” Dari situ, kata dia, kita akan menemukan pilihan-pilihan yang baik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.