Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cawe-cawe Prabowo dan Jokowi meruntuhkan wibawa pilkada.
Campur tangan Jokowi dan Prabowo mencederai prinsip demokrasi lokal serta otonomi daerah.
Kekuasaan yang kembali tersentralisasi bisa melemahkan tata kelola pemerintahan lokal.
DUA hari menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah 2024, berbagai bentuk kecurangan dan pelanggaran terus terjadi. Setelah memberikan dukungan terbuka kepada Ahmad Luthfi dan Taj Yasin Maimoen, Presiden Prabowo Subianto mengajak masyarakat memilih Ridwan Kamil-Suswono sebagai calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta. Keberpihakan Prabowo itu melanggar asas netralitas dan etika demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengatasnamakan Ketua Umum sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo menyampaikan dukungan buat pasangan Ridwan-Suswono melalui sebuah surat. Anjuran Prabowo itu beredar pada masa tenang setelah sejumlah survei menunjukkan pasangan yang didukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus itu keteteran melawan Pramono Anung-Rano Karno. Surat tanpa tanggal itu hanya salah satu bentuk intervensi penguasa dalam pilkada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain mengajak warga Jawa Tengah memilih pasangan Achmad Luthfi-Taj Yasin, Prabowo terang-terangan memberikan dukungan kepada pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten, Andra Soni dan Ahmad Dimyati Natakusumah. Sama seperti dukungan untuk Ahmad Luthfi-Taj Yasin, video singkat itu diduga dibuat di kediaman mantan presiden Joko Widodo di Solo.
Pilkada makin kisruh karena Badan Pengawas Pemilihan Umum menilai video itu tidak melanggar aturan, baik administrasi maupun tindak pidana pemilu. Alasannya, video tersebut dibuat pada hari Minggu dan Prabowo berperan sebagai ketua partai yang mendukung Luthfi.
Tafsir Bawaslu itu patut dikecam karena telah membiarkan penguasa cawe-cawe yang mencederai konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi. Bukan hanya itu. Keputusan Bawaslu tersebut menjadi preseden buruk karena bisa mendorong pejabat lain melakukan tindakan serupa yang menguntungkan salah satu pasangan calon.
Cawe-cawe Prabowo ini mengikuti pendahulunya, Jokowi. Ketika menjadi presiden, Jokowi turut campur mendorong anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden, berpasangan dengan Prabowo Subianto. Dia juga secara terbuka mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Keberpihakan Jokowi seolah-olah menjadi instruksi bagi aparat untuk memenangkan pasangan ini.
Sebulan setelah pensiun dari jabatan presiden, Jokowi turun gunung mendukung calon kepala daerah jagoannya setelah elektabilitas mereka melorot. Ia berkampanye di sejumlah daerah di Jawa Tengah. Di Jakarta, ia mengumpulkan relawannya untuk memenangkan Ridwan-Suswono. Jokowi juga yang meminta Prabowo cawe-cawe dalam pilkada, termasuk membuat video dukungan untuk calon yang ia inginkan.
Pilkada makin kehilangan wibawa karena para penyelenggaranya, dari Komisi Pemilihan Umum hingga KPU daerah, termasuk Bawaslu pusat dan daerah, adalah mereka yang juga melaksanakan pemilihan presiden dan legislatif 2024. Pemilu ini meninggalkan banyak noda.
Salah satu cacat pemilu adalah ketika KPU menerima begitu saja pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah syarat usia calon, KPU belum merevisi Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023. Aturan ini mengatur usia pendaftaran minimal 40 tahun.
Pilkada sejatinya merupakan salah satu aspek penting untuk memperkuat demokrasi lokal. Dengan pilkada, warga bisa memilih langsung pemimpin yang dekat dengan mereka. Terutama untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas pelayanan publik.
Campur tangan yang ditunjukkan Jokowi dan Prabowo justru mencederai prinsip demokrasi lokal serta otonomi daerah. Keberpihakan mereka menciptakan ketidakadilan dalam kompetisi politik. Para calon kepala daerah berada di bawah cengkeraman partai dan elite politik nasional. Ketergantungan mereka pada dukungan elite menciptakan patron politik.
Pilkada tak lebih sebagai ajang perebutan kekuasaan oleh segelintir elite. Kepentingan elite merusak pilkada sebagai sarana mereproduksi kekuasaan melalui jagoan-jagoan lokal. Kekuasaan yang kembali tersentralisasi ini bisa melemahkan tata kelola pemerintahan lokal.
Kekacauan pilkada akan menimbulkan kekisruhan dalam lima tahun ke depan. Sebab, kepala daerah yang terpilih bukanlah orang-orang terbaik. Mereka menang karena intervensi penguasa menabrak aturan. Pada akhirnya, publik yang akan menangguk kerugian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo