Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAHWA kemampuan baca-tulis Al-Quran adalah sesuatu yang baik, tentu tak ada yang meragukannya. Tapi bahwa sebuah daerah mewajibkan warganya bisa baca-tulis Al-Quran, bahkan menjadikannya sebagai syarat masuk sekolah menengah tingkat pertama (SLTP), tentu kita bisa mempersoalkannya.
Peristiwa ini terjadi di Kota Padang, Sumatera Barat, dan akan terjadi di Kabupaten Padang Pariaman, provinsi yang sama. Adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Padang yang pada 2003 mengeluarkan Peraturan Daerah No. 6/2003 tentang kewajiban itu. Meski dikeluarkan dua tahun lalu, peraturan itu berlaku efektif tahun ini. Di Padang Pariaman, beleid itu masih digodok parlemen setempat. Di kedua kota itu, aturan tersebut diberlakukan hanya bagi warga yang beragama Islam.
Alasan pewajiban itu adalah untuk menegakkan moral dan membuat masyarakat Padang bisa mengimbangi ilmu dunia dan ilmu akhirat. Pemerintah dan parlemen ingin agar kehidupan di surau diaktifkan kembali. Mereka berharap adat Minang tak dilupakan: adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah—adat bersendi syariah, syariah bersendi kitab Allah. Wali Kota Padang, Fauzi Bahar, bahkan bertekad melebarkan peraturan ini. Nanti, lelaki dan perempuan yang akan menikah pun wajib bisa baca Al-Quran. Jika tidak, jangan harap perkawinan mereka diakui negara.
Ada beberapa hal yang patut dipersoalkan dari peraturan ini. Pertama, pembuat aturan tampaknya terjebak dalam logika linier yang seolah-olah benar tapi sesungguhnya salah. Begini kurang lebih mereka berpikir: dengan bisa membaca Al-Quran, seseorang bisa memahami isi Al-Quran. Dengan memahami Al-Quran, seseorang bisa menerapkan ajaran Al-Quran. Bisa mengaji-membaca Al-Quran dengan tajwid yang benar, menjadi syarat bagi seseorang untuk bisa menerapkan ajaran Islam. Dengan menerapkan ajaran Islam, moral masyarakat jadi terjaga.
Faktanya, wisdom Al-Quran bisa ditemukan di mana-mana—dengan atau tanpa kemampuan membaca Al-Quran. Bahkan Al-Quran sendiri tidak mewajibkan muslim bisa membaca Al-Quran, teks berbahasa Arab itu. Yang ada ialah kewajiban berakhlak baik. Muhammad Abduh, ulama Mesir terkemuka, dalam perjalanannya ke Amerika Serikat—sebuah negeri sekuler tapi orang bisa antre dengan tertib—justru menemukan ”Islam” di sana. Menyindir muslim di negara-negara Islam, Abduh berkata, ”Kemuliaan Islam justru terselubung oleh orang Islam sendiri.”
Kedua, kalaupun pemerintah Padang ingin warganya bisa membaca Al-Quran—atas nama adat, kesalehan simbolis, atau memberikan kesibukan agar anak sekolah tak nongkrong di mal—mestinya itu tidak diwujudkan dalam peraturan yang koersif. Peraturan menuntut kepatuhan, kepatuhan menuntut restriksi. Alangkah naifnya jika seseorang terhalang menikah, menjalankan sunah Rasul sang pembawa Al-Kitab, justru karena ia tak bisa membaca Al-Kitab itu sendiri. Di sini prosedur jadi menghalangi praktek.
Yang mestinya dilakukan pemerintah adalah membuka akses kepada warga Padang untuk belajar membaca Al-Quran. Misalnya, menyuburkan tempat-tempat kursus membaca Kitabullah atau memberikan subsidi agar warga gratis belajar Al-Quran. Yang terakhir ini jauh lebih efektif dan sesuai dengan moral Kitab ketimbang mengancam para buta huruf Al-Quran dengan sepokok gada: tak bisa sekolah atau tak boleh menikah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo