Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Mencari Kedamaian di Poso

Pemerintah harus lebih serius mengatasi serangkaian teror di Poso. Perlu dipikirkan pula pembentukan tim pencari fakta.

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lebih dari brutal, teror di Poso merupakan tindakan biadab yang seharusnya sirna dalam masyarakat beradab. Selama dua pekan, nyawa lima remaja yang tak berdosa melayang lewat serentetan aksi kejam. Sebagian diberondong peluru, yang lain dipenggal kepalanya, lalu tubuh dan kepalanya dibiarkan berserakan di jalanan kampung.

Kejadian yang mengenaskan itu menimpa tiga siswi SMA Kristen Poso, lima hari sebelum Lebaran. Saat dibantai, mereka masih mengenakan seragam Pramuka. Kebengisan terulang sepekan kemudian, kali ini menyerang Siti Nuraini, 17 tahun, dan temannya, Ivon, pelajar Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Poso. Mereka ditembak di rumah kos oleh dua orang tak dikenal yang mengendarai sepeda motor. Teror lalu menghantui warga Poso lewat selebaran gelap yang bertulisan: masih dicari 100 kepala anak-anak, remaja, dan orang dewasa.

Maka, tidaklah pantas Bupati Poso, Piet Inkiriwang, mengatakan kejadian di wilayahnya merupakan masalah kecil dan tak perlu dibesar-besarkan. Ini pernyataan yang kurang bermoral, karena sang baputi seolah tidak peduli terhadap nasib yang dialami warganya. Dengan sikap seperti itu, bagaimana mungkin ia bisa serius mencari upaya penyelesaian konflik Poso yang berlangsung sejak enam tahun lalu.

Serangkaian teror belakangan ini adalah upaya mengobarkan lagi konflik yang sebetulnya telah padam. Kerusuhan pertama di Poso meletik pada akhir 1998, dipicu oleh orang mabuk—kebetulan nonmuslim—yang membacok seorang muslim di masjid. Sejak itulah serentetan konflik meletup hingga menewaskan sekitar 577 jiwa dan menghancurkan hampir 10 ribu rumah penduduk. Bisa dibayangkan dahsyatnya akibat konflik ini bagi Poso yang berpenduduk sekitar 400 ribu. Mereka terdiri dari 61 persen muslim, 36 persen kaum Kristen, dan sisanya beragama lain.

Pertikaian berdarah baru berakhir setelah para tokoh Islam dan Kristen di sana menandatangani Deklarasi Malino empat tahun lalu. Kendati begitu, ketenteraman belum sepenuhnya dinikmati warga Poso. Hingga sekarang sekitar 20 ribu orang masih tinggal di barak-barak pengungsian di Palu, Poso, dan Tentena.

Syukurlah, masyarakat Poso kini tidak gampang lagi dibakar emosinya lewat aksi teror. Kendati begitu, pemerintah tidak bisa menanti sampai kerusuhan terjadi lagi untuk bertindak tegas. Jika para pelaku aksi peledakan bom di Bali saja bisa digerebek, semestinya polisi tidak sulit menemukan dalang teror di kabupaten seluas 28 ribu kilometer persegi itu. Kalau perlu, para pelaku teror di Poso juga dijerat dengan Undang-Undang Anti-Terorisme, karena telah menebarkan kengerian dan berusaha menyulut kerusuhan.

Pemerintah perlu pula memikirkan pembentukan tim pencari fakta independen seperti yang diusulkan kalangan lembaga swadaya masyarakat. Soalnya, sebagian tentara dan polisi di Poso justru menjadi bagian dari konflik. Bisa beranggotakan tokoh Islam dan Kristen, tim tersebut mesti memiliki kewenangan yang besar agar mampu mengupayakan penegakan hukum.

Menurut hasil penelitian yang pernah dilakukan Departemen Agama, konflik di Poso bukan dilatarbelakangi oleh sentimen agama, melainkan gesekan ekonomi dan politik. Begitu pula penyebab konflik yang pernah terjadi di daerah lain seperti Ambon, sentimen agama hanya dipakai sebagai bahan bakar buat mengobarkan kerusuhan. Semestinya pemerintah lebih peka terhadap persoalan di luar agama itu dan segera mencari pemecahannya demi mewujudkan kedamaian di Poso.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus