Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita patut bersyukur pembangunan hukum dan hak asasi manusia berkembang sejak reformasi. Namun kualitas pelaksanaan hak asasi dikhawatirkan akan mundur di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab, tidak ada komitmen konkret terhadap perlindungan dan penegakan hak asasi, paling tidak dari pidato pelantikan Jokowi sebagai presiden pada 20 Oktober lalu. Selain itu, komposisi Kabinet Indonesia Maju mengecewakan banyak pihak.
Terpilihnya Jokowi dua kali sebagai presiden terjadi berkat semangat reformasi yang mendobrak kebekuan politik dan diwarnai pengorbanan masyarakat, yang ditandai dengan berbagai peristiwa pada 1997 dan 1998.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia lahir dari reformasi dan diberi wewenang untuk memajukan dan menegakkan hak asasi serta menyelidiki pelanggaran hak asasi berat. Setiap tahun, Komisi telah menerima dan menangani ribuan aduan masyarakat yang merasa hak asasinya dilanggar. Berdasarkan jumlah aduan yang diterima, pada 2018 terdapat 6.098 berkas aduan, pada 2017 (5.387), pada 2016 (7.188), dan pada 2015 (8.249).
Pada 2018, aduan terbanyak ke Komisi berkaitan dengan dugaan pelanggaran hak atas kesejahteraan (2.425 berkas). Di dalamnya terdapat persoalan hak atas tanah, hak ketenagakerjaan, dan hak atas tempat tinggal. Kemudian, aduan yang berkaitan dengan hak atas keadilan sebanyak 1.991 berkas, termasuk persoalan dugaan kesewenang-wenangan proses hukum di kepolisian dan pengadilan.
Tingginya aduan hak atas kesejahteraan berkaitan erat dengan konflik agraria, khususnya program pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas Jokowi dalam lima tahun terakhir. Setidaknya ada 269 proyek infrastruktur yang dibingkai dalam proyek strategis nasional. Berbagai proyek tersebut tidak sedikit yang berimplikasi pada konflik agraria dan tercerabutnya hak atas tanah, yang di antaranya berkaitan dengan pembangunan jalan tol, bandar udara, waduk, dan pembangkit listrik.
Di sisi lain, Jokowi, dengan ikhtiar untuk mewujudkan pemerataan hak atas tanah, membagikan 9 juta hektare lahan dalam bingkai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan 12,7 juta hektare pengelolaan hutan bersama masyarakat dalam Program Perhutanan Sosial. Namun program ambisius tersebut tidak semulus yang dibayangkan karena sebagian besar target itu belum tercapai sampai akhir masa kepemimpinan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Jokowi telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Alih-alih menyelesaikan persoalan agraria, peraturan itu dipandang hanya berniat melegalkan tanah melalui program sertifikasi massal. Sedangkan akar masalah agraria, yaitu konflik pemanfaatan dan ketimpangan penguasaan tanah, tidak disentuh. Tidak sedikit pula terjadi tumpang-tindih kepemilikan dan klaim lahan dalam program sertifikasi itu.
Penanganan kasus-kasus pelanggaran hak asasi berat juga masih jauh panggang dari api. Komisi pernah memberikan rapor merah kepada Jokowi atas hal ini, padahal Jokowi pernah berjanji untuk memproses dan menuntaskannya pada 2014.
Hingga kini Komisi telah menyelidiki 13 kasus yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi berat. Tiga di antaranya telah mendapatkan putusan di pengadilan hak asasi manusia ad hoc, yaitu kasus Timor Timur (1999), Tanjung Priok (1984), dan Abepura (2003).
Masih ada 10 kasus yang belum beranjak ke tingkat penyidikan. Kasus-kasus itu adalah kerusuhan Mei 1998; Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; penghilangan paksa aktivis 1997-1998; kasus Wasior dan Wamena; kasus Talangsari, Lampung; kasus penembakan misterius (petrus); peristiwa pembantaian massal 1965; peristiwa Jambu Keupok, Aceh; peristiwa Simpang KKA, Aceh; dan peristiwa Rumah Geudong, Aceh.
Dalam pertemuan dengan Presiden Joko Widodo pada 8 Juni 2018, Komisi telah menyampaikan permintaan agar kasus-kasus tersebut segera ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut umum. Namun, hingga kini, tidak ada titik terang kelanjutannya. Diduga, akar masalah dari buntunya penyelesaian kasus-kasus tersebut adalah pihak-pihak yang terlibat duduk di dalam lingkaran kekuasaan.
Pada pemerintahan periode kedua Jokowi kini, persoalan hak asasi masih belum menjadi prioritas, meskipun ada sosok Mahfud Md. yang menjabat Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Namun tugas Mahfud tidak akan mudah karena tantangan internal kabinet yang diwarnai oleh politik transaksional dan komposisi anggota kabinet yang jauh dari semangat untuk menindaklanjuti kasus-kasus pelanggaran hak asasi berat.
Tidak salah jika ada kekhawatiran bahwa sampai lima tahun mendatang, penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia, khususnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak asasi berat, masih menjadi utopia. Jika memang benar demikian, kita pantas berduka dan turut berdosa jika tidak berbuat apa-apa.