Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jumenengan di keraton surakarta

Keraton surakarta merayakan jumenengan (penobatan) ke-50 paku buwono xii. kekuasaan susuhunannya sudah surut, dan fungsi politiknya dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. juga, kekayaannya berkurang

5 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH kesatuan "politik" dari Republik Indonesia, 15 Januari lalu, merayakan jumenengan atau tahun penobatan ke-50 dari rajanya, Paku Buwono XII. Itulah Keraton Surakarta. Apa makna jumenengan ini, ketika kata "keraton" kini lebih dikaitkan pada turisme? Memang, gelar-gelar di dalam keraton sampai sekarang masih mengungkapkan fungsi politik susuhunannya atau rajanya: Senopati Ingalaga (panglima dalam peperangan), Syekh, Sahidin, Panotogomo, dan seterusnya. Nama Paku Buwono sendiri mengungkapkan bahwa raja ini dilihat sebagai pusar dari seluruh jagat raya. Bagaimanapun, kekuasaan susuhunannya sudah sangat surut, dan fungsi politiknya dapat dikatakan tidak ada lagi. Juga kekayaan Keraton Surakarta sekarang ini dibandingkan dengan sebelum perang jauh lebih miskin. Berdirinya keraton-keraton di Jawa dapat dikatakan berasal dari zaman Hindia Belanda yang mempraktekkan pemerintahan kolonial yang tidak langsung (indirect rule). Itulah sistem pemerintahan melalui penguasa-penguasa pribumi tradisional. Bila keraton-keraton itu masih berdiri hingga hari ini, mereka berutang budi pada sikap mereka sendiri pada hari-hari pertama setelah proklamasi kemerdekaan. Ketika itu, ketika Republik Indonesia diproklamasikan, semua keraton di Jawa seperti Surakarta, Mangkunegaran, Yogyakarta, dan Paku Alam, langsung memberikan pengakuan pada republik yang baru diproklamasikan itu. Pada saat itu pengakuan ini merupakan aset besar bagi Indonesia yang baru lahir, yang legitimasinya masih sangat meragukan. Sesungguhnya keraton-keraton di Jawa Tengah meneruskan konsep politik dari raja tradisional di Asia Tenggara. Sebagai lembaga, keraton-keraton di Jawa Tengah sebanding dengan kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Thailand atau Kamboja, yang masing-masing melahirkan peradaban keraton di negara masing- masing. Konsep ini berasal dari India, dan dikenal sebagai konsep deva-raja. Di Jawa konsep tersebut dipengaruhi Islam dan kolonialisme. Di Thailand konsep kerajaan terbentuk oleh kudeta tahun 1932, yang menjadikan sang raja menjadi raja konstitusional. Di Kamboja, melewati berbagai masa, dari revolusi komunis, perang saudara, sampai permufakatan nasional menjadikan Norodom Sihanouk kembali ke tahtanya sebagai raja konstitusional. Di Myanmar kerajaan dihapuskan oleh Inggris, yang melakukan pemerintahan kolonial langsung (direct rule) di negara itu. Di Laos monarki tidak tahan terhadap revolusi komunis, dan di Vietnam sifat monarkinya bermodel kerajaan konfusianistis menurut konsep Asia Timur (Cina, Jepang, dan lainnya). Masih bertahannya berbagai kerajaan di Asia Tenggara dari Thailand sampai ke Indonesia merupakan saksi sejarah pada kita, betapa besar pengaruh budaya peradaban keraton ini. Di wilayah Republik Indonesia keraton-keraton pun masih ada aura sakralnya, dan kirab masih menjadi tontonan masa seperti juga perkawinan dan peristiwa keraton lainnya. Namun, seperti semua lembaga di Asia Tenggara, pribadi penguasa keraton sangat lebih penting daripada lembaganya. Seorang pribadi seperti almarhum Sultan Hamengku Buwono IX masih berkarisma penuh dan besar. Biarpun hidup dan bertahta di masa revolusi republikijn (-en) ini, mungkin beliau merupakan raja paling besar karismanya di antara para raja di keraton Yogyakarta sejak Hamengku Buwono I (tahun 1755). Pribadi seperti Norodom Sihanouk menyebabkan monarki masih bertahan sampai kini, biarpun ada revolusi Khmer Merah. Raja Thailand kini makin lama makin dilihat sebagai pemersatu dan stabilisator terpenting dalam permainan politik Thailand. Pun di negara-negara republik sering konsep deva-raja merefleksikan diri dari kedudukan presiden dan penguasa-penguasa lain. Satu-satunya monarki absolut yang masih ada di Asia Tenggara adalah Kesultanan Brunei. Namun, kesultanan tersebut asalnya bukan kerajaan agraria seperti yang melahirkan peradaban keraton, tapi suatu kesultanan di muara sungai dan laut seperti kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, dan lain-lain. Berlainan dengan di kesultanan laut, di kerajaan agraria kesatuan politik (sakral) masih tetap ada selama masih ada pusaka-pusaka, dan siti-inggil (tahta) masih berada di tempat suci. Dengan singkat, selama ada keraton kerajaan masih ada. Bahkan kerajaan yang fungsi politiknya telah dihapuskan ratusan tahun lalu, seperti keraton-keraton di Cirebon, fungsi budayanya dan sakralnya tetap bertahan. Mungkin nasib keraton-keraton Jawa Tengah kelak akan seperti lembaga-lembaga keraton Cirebon kini. Karena itu, pusaka-pusaka keraton, menurut konsep tradisional Jawa, sepenting agama. Artinya, Nyai Loro Kidul dan roh Sunan Gunung Lawu sepenting seperti agama. Keduanya ini adalah penjaga kerajaan Jawa yang sejak Sriwijaya, yang maharajanya disebut "Yang dipertuan atas gunung-gunung dan lautan", menganggap gunung dan laut sebagai penjaga-penjaga sucinya. Tradisi ini juga menganggap zaman Majapahit dan sebelumnya sebagai zaman yang gemilang dan jaya. Adanya anggapan bahwa pusaka keraton sepenting agama, secara tradisional, pada dasarnya ada ketegangan antara agama dan tradisi keraton. Bukan hanya di Jawa tapi juga di daerah lain. Bahkan mungkin ketegangan keraton dan agama terjadi secara universal. Sebab, para santri di mana saja dan penganut agama apa saja biasanya menolak keduniawian. Sedangkan politik dalam bentuk tradisional ataupun modern selalu berpusat pada yang duniawi yang bertentangan dengan fundamentalisme agama. Bahkan kini, ketika keraton tak lagi berfungsi seperti masa lalu, jumenengan di Keraton Surakarta tampaknya masih mewarisi semangat ketegangan itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus