Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wijayanto
Pengajar Universitas Diponegoro dan peneliti The Institute for Digital Law and Society
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prosesi Pemilihan Umum 2019 hampir usai. Pemungutan suara telah kita langsungkan pada 17 April lalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan selambat-lambatnya pada 22 Mei rekapitulasi suara dapat diumumkan. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan refleksi atas prosesi ini dari satu sisi peran media dan jurnalisme kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu hal yang segera tampak jelas dalam pemilu kali ini adalah kuatnya persaingan politik di antara kedua kubu dan pengikutnya, yang justru menjadi semakin intens seusai pemungutan suara. Ini terjadi tak lain karena kedua kubu sama-sama mengklaim kemenangan. Kubu pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 01 merasa berhak mengklaim kemenangan karena berdasarkan hasil quick count dari berbagai lembaga survei, perolehan suara mereka mengungguli pesaingnya. Namun kondisi ini menjadi rumit manakala pasangan calon presiden-wakil presiden nomor urut 02 juga mengumumkan mereka memenangi pemilu berdasarkan penghitungan suara mereka sendiri. Situasi ini tak pelak memunculkan ketegangan di masyarakat, dan media setiap hari menampilkan pernyataan kedua kubu yang saling menyerang.
Terlepas dari pihak mana yang paling benar dalam adu klaim itu, tampak jelas bahwa media massa bukannya membantu meredakan ketegangan, melainkan justru semakin memanaskannya. Mengikuti langgam elite yang saling "berbalas pantun", masyarakat di bawah juga ikut larut dalam permusuhan sebagaimana tampak di media sosial. Media justru mempraktikkan apa yang oleh teoretikus komunikasi politik disebut sebagai "jurnalisme pacuan kuda". Ilmuwan politik dari Universitas Colombia, Anthony Broh (1988), mendefinisikan jurnalisme model ini sebagai jurnalisme yang membingkai pemilu tak ubahnya liputan perlombaan pacuan kuda, yang lebih berfokus pada persaingan perolehan suara para kontestan pemilu seperti terefleksi dalam hasil polling atau survei.
Media menghadirkan pula liputan aksi saling serang secara verbal di antara pengikut masing-masing kontestan untuk meramaikan perlombaan dan tak ubahnya penonton pacuan kuda saat mengelu-elukan para joki dari tepi lintasan. Jurnalisme model ini memang menarik karena keriuhannya mampu membuat para pendukung terlibat secara emosional tapi berpotensi memperuncing konflik.
Sesungguhnya, tren jurnalisme pacuan kuda yang marak dipraktikkan oleh berbagai media hari ini bukanlah hal yang mengejutkan. Penelitian Banducci dan Hanretty (2014) terhadap 160 media cetak dan penyiaran di 27 negara di Eropa menunjukkan bahwa dalam satu sistem kepartaian yang terpolarisasi, model peliputan jenis ini tak terhindarkan. Salah satu alasannya adalah model itu akan memberi kepastian tentang siapa yang kelak terpilih sebagai pemenang dan kebijakan seperti apa yang akan dihadirkan, terutama dalam situasi ketidakpastian karena kedua kontestan bersaing secara ketat.
Hal ini mirip dengan situasi di Indonesia, yangmeskipun menganut sistem multi-partai, pemilu sangat terpolarisasi karena hanya menghadirkan dua pasangan calon yang bersaing ketat. Hasil pemilu kali ini pun, setidaknya berdasarkan quick count, juga bersaing ketat. Kubu 02, meskipun dinyatakan kalah pemilu, mengantongi 45 persen suara pemilih atau hampir separuh pemilih.
Kedua peneliti tadi juga menyatakan bahwa jurnalisme model ini tidak sepenuhnya buruk. Bagi sebagian pemilih, terutama dengan tingkat pendidikan yang rendah, sajian informasi ini mudah diikuti. Namun hal ini akan menjadi berbahaya bagi demokrasi manakala menjadi pola yang dominan atau bahkan satu-satunya pola dalam pemberitaan. Bagi pemilih yang terdidik, ruang publik yang hanya dipenuhi angka-angka polling terbaru dan persaingan dangkal di antara kedua kubu hanya akan melahirkan sinisme dan apatisme terhadap proses pemilu. Selain itu, catatan buram dalam pemilu ini muncul karena mereka yang tidak apatis justru larut dalam persaingan berbalut kebencian.
Banyak pengamat dan berbagai survei mengungkapkan hal yang sama: pemilu kita kali ini miskin akan perdebatan yang substantif. Banyak isu yang gagal dielaborasi secara meyakinkan oleh kedua pasangan calon presiden-wakil presiden, seperti masalah penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu, perusakan lingkungan, semakin lemahnya posisi Komisi Pemberantasan Korupsi, ketimpangan ekonomi, dan kuatnya cengkeraman oligarki. Dalam perdebatan politik yang dangkal, korbannya adalah kita semua sebagai pemilih.
Di tengah perdebatan yang dangkal dan persaingan berbalut kebencian di antara kedua kubu beserta pengikutnya, media dituntut untuk memainkan perannya. Media perlu keluar dari jebakan jurnalisme pacuan kuda yang hanya mengejar rating. Media massa harus ikut berkontribusi meredakan ketegangan dengan menghadirkan jurnalisme damai.