Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PATUT disayangkan ketika informasi kenaikan tarif listrik menjadi "mainan" para penyebar berita palsu (hoax) di media sosial. Apalagi penyebarannya yang masif serta-merta membuat PT PLN dan Istana Negara pontang-panting menyangkal. Kondisi ini menyiratkan satu hal penting: pemerintah tidak cakap melakukan sosialisasi kebijakan yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Kabar tarif listrik naik menjadi bola liar setelah Direktur Utama PLN Sofyan Basir mengumumkan pemberlakuan pencabutan subsidi listrik bagi 18,7 juta konsumen pemakai daya 900 volt ampere (VA). Langkah ini sebenarnya sesuai dengan program pemerintah untuk memastikan subsidi listrik benar-benar diterima masyarakat miskin. PLN sebagai pemasok utama listrik diwajibkan menjaga subsidi listrik Rp 48,56 triliun, angka yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017.
Masalahnya, pencabutan subsidi itu terkesan mendadak karena diumumkan secara sepintas oleh Sofyan Basir ketika ditemui wartawan di Kantor Staf Presiden. Tak aneh, keputusan serius ini pun menimbulkan gejolak dan segera menjadi peluru bagi sekelompok orang untuk memainkan isu bahwa PLN menaikkan tarif listrik sepihak. Sesuai dengan ketentuan, tarif listrik boleh naik setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Kelambanan melakukan sosialisasi inilah penyebab gaduhnya keputusan pembatalan subsidi bagi 18,7 juta pelanggan pemakai daya 900 VA. Apalagi, dalam waktu bersamaan, ada 23 juta pelanggan pemakai daya 450 VA dan 4 juta pelanggan pengguna daya 900 VA yang masih bisa menikmati subsidi.
Dalih PLN bahwa keputusan menganulir pemberian subsidi telah menggunakan data hasil penelusuran bersama dengan Kementerian Dalam Negeri, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan Badan Pusat Statistik tidak cukup. Apalagi tidak ada parameter yang jelas mengapa ada konsumen yang memakai listrik dengan daya yang sama diperlakukan berbeda dalam penerimaan subsidi.
Idealnya, selain kejelasan parameter, keputusan strategis itu disosialisasi jauh-jauh hari. Apalagi banyak kritik terhadap cara penentuan konsumen yang tidak boleh lagi menerima subsidi versi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dan BPS.
Mekanismenya berdasarkan pengaduan masyarakat melalui unduhan formulir di website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Prosedur itu dinilai rumit karena penyebaran informasi tentang penjaringan kelas konsumen sangat terbatas akibat belum meratanya penggunaan Internet di masyarakat.
Untuk menangani subsidi salah sasaran yang telah puluhan tahun terjadi, PLN semestinya menyiapkan roadmap penanganannya. Program pembenahan penyaluran subsidi harus dibuat komprehensif. Harus ada parameter yang jelas untuk mengidentifikasi konsumen yang layak menerima subsidi dan waktu detail pelaksanaan pengaturannya. Setelah itu, desain besar program subsidi listrik tepat sasaran disosialisasi secara merata dan bisa menjangkau semua lapisan masyarakat pelanggan PLN.
Target bahwa subsidi tak boleh salah sasaran dan hanya berlaku bagi kalangan miskin tidak boleh ditawar-tawar lagi. Kebijakan pemberian subsidi secara sembrono telah terbukti menjadi "penyakit" yang menggerogoti perekonomian kita sejak dulu. Pemerintah tidak perlu khawatir mengeluarkan kebijakan tak populer dalam mengatasi berbagai penyimpangan tersebut. Ketimbang triliunan rupiah uang negara dihamburkan percuma, lebih baik dipakai untuk membangun pembangkit di banyak daerah yang masih kekurangan pasokan listrik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo