Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rio Christiawan
Penulis adalah kriminolog dan dosen hukum Universitas Prasetiya Mulya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada perbedaan mendasar ihwal cara Presiden Joko Widodo menentukan kabinetnya dulu dan sekarang. Pada Kabinet Kerja periode 2014-2019, Jokowi melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menyeleksi kandidat menteri. Kala itu, terlepas dari spekulasi bahwa catatan KPK merupakan cara presiden untuk "menolak" kandidat secara halus, masyarakat juga memaknainya sebagai langkah maju Presiden dalam memilih calon menteri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat melihat bahwa Presiden tidak sekadar menggunakan hak prerogatifnya dalam memilih menteri atau sekadar hasil kompromi politik dan "bagi-bagi kue kekuasaan". Masyarakat melihat ada semangat untuk membangun integritas sesuai dengan Nawacita, khususnya pada bagian semangat pemberantasan korupsi.
Masyarakat setidaknya masih mengingat catatan dengan kode stabilo KPK pada 2014 dan hasilnya terbukti cukup efektif, meskipun tetap ada menteri aktif di Kabinet Kerja periode pertama yang terlibat kasus korupsi. Selama pemerintahan Jokowi periode pertama, ada dua menteri aktif yang terlibat kasus korupsi dan harus berurusan dengan KPK sebagai tersangka. Pertama, Idrus Marham, mantan menteri sosial yang masuk setelah perombakan kabinet (sehingga tidak melewati telaah rekam jejak oleh KPK). Kedua, yang masih hangat adalah mantan menteri pemuda dan olahraga, Imam Nahrawi, yang sekalipun melewati telaah dan lulus uji rekam jejak oleh KPK di awal seleksi sebagai calon menteri, kenyataannya di pengujung masa jabatannya berakhir dengan rompi oranye KPK.
Artinya, walaupun pada awalnya seorang kandidat menteri memiliki integritas yang baik, pada kenyataannya jabatan menteri adalah jabatan yang penuh dengan "godaan" perilaku koruptif. Sebagaimana diuraikan oleh kriminolog Gabriel Tarde (1994), niat dan perbuatan jahat sangat dominan dipengaruhi oleh lingkungan. Meskipun kandidat menteri memiliki rekam jejak yang baik, lingkungan kementerian yang belum sepenuhnya bebas dari korupsi dapat menyebabkan seorang menteri terlibat dalam korupsi.
Jika kini dalam menentukan kabinetnya Jokowi tidak melibatkan KPK, sesungguhnya tersimpan potensi besar untuk terjadi peristiwa serupa seperti Idrus Marham ataupun Imam Nahrawi. Sturige (2010) menjelaskan bahwa orang yang di awal masa jabatannya sudah memiliki catatan kriminal, perbuatan koruptif di masa lampau, atau konflik kepentingan, maka ketika mendapat kesempatan berkuasa ia akan cenderung menggunakan kekuasaannya untuk kembali melakukan perbuatan yang menyimpang.
Memang tidak ada kewajiban presiden untuk melibatkan KPK dalam seleksi kandidat menteri, tapi mengapa Jokowi mengubah "tradisi" positif ini? Sebenarnya, dengan melibatkan KPK, presiden juga mempersempit kemungkinan terulangnya peristiwa menteri yang terlibat korupsi sebagaimana terjadi pada periode sebelumnya.
Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden pada 20 Oktober 2019, Jokowi mengakui masih banyak terjadi birokrasi korup yang menghambat pembangunan. Artinya, menyapu lantai kotor haruslah dengan sapu yang bersih. Mutlak pada saat ini presiden harus memilih menteri yang memiliki integritas yang baik.
Presiden juga perlu memastikan tidak terjadi konflik kepentingan pada para menteri dari partai politik, sehingga jabatan menteri nantinya juga akan terbebas dari penyimpangan berupa jual-beli pengaruh, seperti pada kasus mantan Ketua Umum PPP, Romahurmuziy, di Kementerian Agama.
Tanpa telaah KPK dan di tengah tarik-menarik kepentingan partai politik, tampaknya pemilihan menteri hanya ditentukan berdasarkan penilaian profil. Sarlito (1999) menguraikan bahwa penilaian profil merupakan tahapan penilaian yang hanya melihat kecocokan seseorang terhadap jabatan yang akan diberikan (aspek kecocokan dan kompetensi, tapi dalam hal ini tidak ada penilaian yang mendalam terhadap aspek rekam jejak dan integritas yang bersangkutan).
Tanpa menggunakan penilaian integritas oleh KPK, mitigasi terhadap rekam jejak menteri dalam kabinet tidak memiliki parameter yang jelas. Maka, akan sangat besar kemungkinannya bahwa menteri di kabinet baru akan kembali tersangkut korupsi karena lingkungan kementerian yang masih dipenuhi perbuatan koruptif.
Pada akhirnya, apa pun kriteria yang dipergunakan oleh presiden dalam menyusun kabinetnya, penilaian masyarakat cenderung didasarkan pada fakta historis dan empiris: apakah Jokowi benar-benar membuktikan janjinya untuk membentuk kabinet yang bersih dari korupsi sehingga dapat berdampak positif bagi lingkungan kementerian yang dipimpinnya, atau justru sebaliknya?
Hal ini akan menjadi pembuktian janji kampanye Presiden sebagaimana tertulis dalam kemeja Presiden Joko Widodo kala kampanye, yakni bersih dan merakyat. Dalam hal ini, membentuk kabinet 2019-2024 yang bersih dalam melayani rakyat merupakan cerminan janji politik Presiden Joko Widodo kepada rakyat.