Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Frans Maniagasi
Pengamat masalah Papua
PERMASALAHAN mendasar yang patut diketengahkan pasca-pelaksanaan Kongres Rakyat Papua yang berlangsung 29 Mei-4 Juni 2000 lalu di Jayapura adalah bagaimanakah "nasib" dan masa depan rakyat Papua. Bagaimanakah seyogianya sikap dan kebijakan yang harus dilakukan pemerintah pusat di Jakarta dalam merespons aspirasi dan tuntutan merdeka rakyat Papua?
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting karena aspirasi dan tuntutan yang kini berkembangmenjadi tuntutan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)muncul sebagai "kesadaran baru". Kesadaran baru bahwa berbagai perlakuan diskriminatif hanya dapat diselesaikan jika rakyat Papua "memisahkan diri" alias "merdeka" dari RI. Anehnya, menghadapi "kesadaran baru" dari tuntutan merdeka ini, Jakarta justru reaktif, bahkan disertai ancaman pengambilan tindakan kekerasan. Ini membuktikan bahwa pemerintah pusat gagal memahami realitas politis di masyarakat tentang derasnya aspirasi dan tuntutan merdeka. Realitas politis seperti itu menuntut adanya cara dan pendekatan yang bisa memberikan garansi kesejahteraan, kesetaraan, dan kemakmuran bagi rakyat Papua. Pemerintah seharusnya bisa mencari dan memahami apa akar permasalahan sehingga muncul aspirasi dan tuntutan merdeka. Selama 37 tahun integrasi (sejak 1 Mei 1963), sadar atau tidak, pemerintah Indonesia telah gagal melakukan beberapa hal. Pertama, tidak tuntasnya masalah integrasi Papua dengan Indonesia. Itu disebabkan oleh kurang transparannya sejarah awal proses integrasi, di mana pemerintah cenderung menutup-nutupi realitas yang sebenarnya dari sejarah politik Papuasebagaimana termuat dalam Pasal 18 Perjanjian New York one man one vote (15 Agustus 1962) serta implikasinya terhadap pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969. Kedua, pendekatan keamanan dan kekuasaan selama tiga dasawarsa lebih telah membuat rakyat Papua seakan-akan hidup di bawah rezim "kolonial". Berbagai tindakan kekerasan, seperti teror, intimidasi, penculikan, pemerkosaan, bahkan pembunuhan yang dilakukan oleh militer, telah menciptakan pelanggaran dan kejahatan hak asasi manusia yang luar biasa. Ini membuat rakyat tidak lagi simpati kepada Indonesia. Ketiga, tidak adanya kesetaraan politik bagi rakyat Papua dan tidak adanya ruang gerak rakyat untuk ikut menentukan keputusan-keputusan politik pemerintah pusat mengenai dirinya. Keempat, monopoli sumber daya alam dan ekonomi oleh masyarakat pendatang (non-Papua) menjadi salah satu faktor. Termasuk eksploitasi sumber daya seperti yang dilakukan oleh perusahaan nasional ataupun multinasional, misalnya PT Freeport Indonesia. Memang, dari sudut pandang ketatanegaraan Indonesia, tuntutan merdeka bagi Papua boleh dibilang absurd. Tapi, dari perspektif perubahan serta kondisi psikologis penduduknya, tuntutan tersebut bisa dipahami. Lalu, apa yang harus dilakukan? Realisasi dan kebijakan yang telah disepakati, yakni memberikan otonomi khusus bersyarat, yang benar-benar bermakna dan dirasakan oleh penduduk dan pemerintah daerah. Lalu, membagi penghasilan daerah lebih adil, dan membuka peluang partisipasi rakyat sehingga aspirasinya tertampung dan tersalurkan. Selain itu, reformasi prodemokrasi harus membuka peluang untuk menggugat segala sesuatu yang bertalian dengan kebijakan, pemerintahan, bahkan sistem yang lalu, termasuk pelurusan sejarah awal proses integrasi Papua dengan Indonesia. Gugatan itu harus sampai menyentuh sendi-sendi keberadaan dan kebersamaan kita sebagai bangsa dan negara. Karena itu, perlu pengakuan terhadap pluralisme atau keanekaragaman masyarakat dan daerah, dengan memberikan kesempatan kepada rakyat Papua untuk mengatur diri sendiri melalui local self government dan melaksanakan model pembangunan yang sesuai dengan kekhasannya. Keanekaragaman atau pluralisme dalam konteks ini dapat dipahami sebagai genuine engagement of diversities within the bonds of democracyikatan keanekaragaman yang sejati dalam bingkai demokrasi. Kelambatan pemerintah pusat dalam menanggapi aspirasi dan tuntutan merdeka rakyat Papua akan membawa dampak yang merugikan secara ekonomi dan politik. Secara politik, dampak dari kelambatan itu sudah terlihat dari hasil resolusi Kongres Rakyat Papua (KRP) yang disertai tuntutan untuk meninjau kembali status politik rakyat dan wilayah Irianjaya. Tuntutan itu bukanlah sekadar tuntutan belaka, melainkan memiliki akar rasionalitas yang sama, yakni keinginan untuk keluar dari suasana ketidakadilan ekonomi, politik, dan budaya. Permasalahannya menjadi penting karena tuntutan itu berkembang menjadi sesuatu yang mengancam keutuhan integrasi nasional. Sebab, pada masyarakat Papua telah muncul kesadaran baru bahwa berbagai ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif hanya bisa diselesaikan apabila mereka "merdeka" memisahkan diri dari NKRI. Bila Jakarta bersikap "setengah hati" dalam mengupayakan dialog untuk menjawab tuntutan tersebut secara konkret, itu akan menjadi bumerang. Artinya, tuntutan merdeka perlu disikapi dan disemangati berdasarkan prinsip demokrasi. Prinsip dan nilai menghormati berbasis pada martabat manusia serta hak-hak asasinya. Karena itu, pemerintah pusat dituntut memosisikan dan memberlakukan rakyat Papua agar terjamin hak-hak sipil dan politiknya, termasuk kebebasan menyatakan pendapat, sekalipun pendapat itu dianggap "pahit". Jika demikian halnya, tuntutan "merdeka" rakyat Papua perlu didalami. Di sinilah pemerintah diharapkan lebih bersikap kenegarawanan, terbuka, menciptakan suasana yang melegakan, serta mengurangi iklim dan suasana kecurigaan. Merdeka dalam berbagai bentuknya selalu mengandung aspek "pembebasan". Dimensi pembebasan ini menekankan usaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan dan kekuatan dominan, untuk mengatasi ketergantungan pada kekuatan itu dan mengakhiri eksploitasi oleh kekuatan yang dominan tersebut. Membongkar dependensi dan menciptakan kedudukan yang setara adalah aspek kemerdekaan yang biasanya disebut emansipasi. Dengan kata lain, rakyat Papua membutuhkan "pembebasan" tapi sekaligus memperjuangkan "emansipasinya" dalam rangka mengakhiri dominasi dan dependensi sehingga tercipta kesetaraan. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |