Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Abdul Moqsith Ghazali*
SYIAH adalah sekte Islam paling tua. Pemicu awal kemunculannya adalah soal politik. Alkisah, sekelompok orang pendukung Ali ibn Abi Thalib (syi’ah Ali) tidak puas terhadap terpilihnya Abu Bakar al-Shiddiq sebagai pengganti Nabi. Menurut mereka, pengganti Nabi harus berasal dari keluarga Nabi, sekurangnya satu dari dua: Ali ibn Abi Thalib (sepupu dan menantu Nabi) dan Al-Abbas (paman Nabi). Namun, karena jumlah kelompok "oposan" ini sangat kecil, gerak mereka tak sampai menggoyahkan kepemimpinan Abu Bakar. Setelah Abu Bakar, kekhalifahan dilanjutkan Umar ibn Khattab, lalu Utsman ibn Affan, baru kemudian Ali ibn Abi Thalib.
Dalam kepemimpinannya, Ali menghadapi tantangan yang tak ringan terutama dari orang-orang yang berambisi menjadi khalifah, seperti Thalhah ibn Abdullah al-Taimi, Zubair ibn Awwam, dan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan. Persengketaan di kalangan internal umat Islam itu mencapai puncaknya dengan terbunuhnya Ali ibn Abi Thalib di tangan ekstremis Islam bernama Abdurrahman ibn Muljam al-Himyari al-Muradi.
Namun sejarah kemunculan Syiah yang didasarkan pada motif politik itu ditampik kaum Syiah. Menurut mereka, Syiah lahir bukan karena suksesi politik sepeninggal Nabi, melainkan lebih karena keniscayaan teologi. Dikisahkan, dalam perjalanan pulang dari Haji Wada’, Rasulullah berpidato di Ghadir Hum, "Barang siapa yang menganggapku sebagai pemimpinnya (mawla), hendaklah menganggap Ali sebagai pemimpinnya." Bagi Syiah, pengganti Nabi itu harus bersifat keagamaan (khilafah diniyah) dan spiritual (sultanah ruhaniyah). Dengan perkataan lain, pengganti Nabi harus orang yang cakap secara intelektual dan matang secara spiritual.
Orang yang memenuhi dua persyaratan itu adalah roh Rasulullah sendiri, yakni Ali plus Hasan dan Husain, dua anak Ali. Alaud Dawlah Simmani, salah seorang murid Najmuddin Kubra (pendiri Tarekat Kubrawiyah), berpendapat bahwa Ali ibn Abi Thalib mempunyai hak lebih besar ketimbang tiga khalifah sebelumnya, karena dalam dirinya terhimpun tiga keunggulan komparatif, yaitu kekhalifahan (khilafah), kepewarisan (wiratsah), dan kewalian (wilayah).
Seiring dengan berjalannya waktu, perdebatan dari soal pengganti Nabi itu melebar dan masuk ke perdebatan teologis, fikih, bahkan hadis. Polemik Sunni-Syiah tak melulu perihal siapakah tokoh yang berperan pada periode awal Islam, tapi juga diramaikan oleh debat fikih Islam. Umar ibn Khattab, yang menetapkan bahwa suami bisa menceraikan istrinya dengan "talak tiga" sekaligus, dianggap kaum Syiah sebagai kesalahan tafsir atas suatu ayat Al-Quran. Umar juga ditentang atas kebijakannya yang melarang haji tamattu’. Pembaruan fikih Islam ala Umar ibn Khattab yang dibanggakan kalangan Sunni itu justru ditentang ulama Syiah sebagai pelanggaran terhadap syariah. Polemik pun merasuk pada bidang hadis, sumber hukum Islam kedua setelah Al-Quran. Sementara ulama Sunni merujuk pada Hadis Bukhari, ulama Syiah merujuk pada Kitab al-Kafi. Ibn Taymiyah (w. 728 H/1328 M) pernah menulis buku, Minjah al-Sunnah al-Nabawiyah fi Naqd Kalam al-Syi’ah al-Qadariyah (Metode Sunnah dalam Kritik terhadap Teologi Syiah Qadariyah). Buku itu dibuat untuk meng-counter Minhaj al-Sunnah fi Ma’rifah al-Imamah (Metode Sunnah dalam Memahami Imamah), buku ulama Syiah, Hasan ibn Yusuf ibn Muthahhar al-Hilli (w. 726 H/1325 M).
Dalam bentuk aslinya, menurut Hamid Enayat dalam Modern Islamic Political Thought, perbedaan Sunni dan Syiah tak terletak pada pokok ajaran. Perbedaan Sunni-Syiah tak terkait dengan masalah sifat-sifat Tuhan, fungsi Rasul, kewahyuan Al-Quran, dan tak berhubungan dengan kewajiban pokok dalam Islam, seperti salat, zakat, puasa, dan haji. Baik Sunni maupun Syiah sama-sama menyelenggarakan salat. Hanya mereka berbeda dalam menentukan waktu salat (Sunni salat lima waktu, Syiah tiga waktu). Keduanya sama-sama mengeluarkan zakat, hanya mereka berbeda dalam menentukan tarif zakat. Dua-duanya sama-sama menjalankan ibadah puasa, hanya mereka berbeda dalam menentukan waktu berbuka. Mereka sama-sama melaksanakan ibadah haji, hanya mereka berbeda dalam menentukan (sebagian) rukun dan wajib haji.
Jika dikategorikan lebih jauh, perbedaan Sunni dan Syiah terletak pada hal berikut. Pertama, baik Sunni maupun Syiah sama-sama merujuk pada Quran. Hanya, mereka berbeda dalam menafsirkan Quran. Perbedaan penafsiran mungkin terjadi akibat perbedaan metodologi bahkan ideologi. Perbedaan tafsir ini juga terjadi antara Sunni dan Mu’tazilah serta NU dan Muhammadiyah. Perbedaan penafsiran terhadap Al-Quran ini menyebabkan wajah Syiah tak tunggal. Ada banyak varian dalam Syiah. Dulu, pembelahan Syiah terjadi akibat pembelahan tafsir-ideologi, seperti Syiah Zaidiyah, Syiah Imamamiyah, dan Syiah Isma’iliyyah, tapi sekarang friksi Syiah terjadi akibat perbedaan marja’ (panutan) dan organisasi.
Kedua, perbedaan dalam memperlakukan sahabat Nabi. Sementara Sunni berpendapat bahwa semua sahabat Nabi (tanpa kecuali) adalah orang-orang adil, Syiah berpendapat sebaliknya. Tak semua sahabat Nabi bersifat adil dan bisa menjadi suri tauladan. Mereka yang terpilih itu di antaranya Bilal ibn Rabah dan Abu Dzar al-Ghifari. Syiah juga berpendapat para imam tak mungkin berbuat salah (ma’shum). Ke-ma’shum-an para imam inilah yang ditentang kaum Sunni. Bagi Sunni, hanya Nabi yang ma’shum. Sedangkan yang lain, baik keturunan maupun sahabat Nabi, tak dijamin bebas dari kesalahan. Para pemikir Sunni kontemporer berpendapat bahwa ke-ma’shum-an versi Syiah yang didasarkan pada pertalian darah (kepada Nabi) tak sesuai dengan prinsip Islam yang mengajarkan egalitarianisme. Sebab, kemuliaan seseorang tak ditentukan oleh darah, tapi takwa.
Ketiga, perbedaan dalam memformulasikan fikih Islam. Sementara dalam bidang fikih orang Sunni memilih salah satu dari empat mazhab—Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali—orang Syiah merujuk pada fikih Ja’fari. Namun, sejauh menyangkut perbedaan dalam fikih, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan pertentangan tajam antara fikih Sunni dan fikih Syiah pernah dicoba dilerai oleh Syekh Mahmud Syaltut. Dalam kapasitasnya sebagai rektor, Syaltut pernah memperbolehkan diajarkannya kembali fikih Syiah di Universitas al-Azhar setelah absen selama 900 tahun. Di Iran, Muhammad Husein Kayif al-Ghita’ melakukan upaya intelektual untuk merukunkan Sunni-Syiah yang sering bertikai. Di Indonesia, upaya rintisan untuk mendekatkan fikih Syiah dan fikih Sunni pernah dilakukan Gus Dur. Namun usaha rintisan Gus Dur itu belakangan agak meredup seiring dengan menguatnya kecenderungan radikalisme Islam di Indonesia.
Usaha untuk mempertemukan dan mendekatkan Sunni-Syiah di berbagai belahan dunia Islam berkali-kali menemui jalan buntu. Salah satu sebabnya, ada orang-orang dari dua kelompok enggan bahkan menolak upaya pertemuan itu, baik karena alasan politis maupun teologis. Secara politis, ditengarai terdapat sekelompok orang yang mencari keuntungan duniawi di balik pertikaian Sunni dan Syiah. Penolakan teologis terjadi akibat ketidakmampuan masing-masing dalam membedakan ajaran pokok dan ajaran cabang. Sesuatu yang sebenarnya termasuk ajaran cabang dianggap sebagai ajaran pokok oleh yang lain.
Dialog untuk membangun saling pengertian antara Sunni dan Syiah sangat diperlukan agar kerukunan tercapai dan korban tak terus berjatuhan. Dalam konteks ini, pernyataan Menteri Agama RI bahwa Syiah bertentangan dengan Islam patut disesalkan.
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo