RAME-RAME itu rnulai distater ketika ditemukan sebuah prasasti
yang berasal dari abad ke-20. Berkat ditingkatkannya anggaran
untuk penelitian, tim dari Fakultas Ilmu-ilmu Benda Kuno Untul
(Universitas Tulungagung) berhasil menggali prasasti berupa
microfche dari timbunan arsip di petilasan Kantor Gubernur Jawa
Timur. Isinya naskah kuno mengenai Kampanye Bersama, yang
digubah oleh Adipati di sana menjelang Pemilu 1982.
Hasil elskavsi itu dianggap penting, sebab diharapkan dapat
menerobos kemandekan politik masa itu. Masa itu adalah tahun
2000-plus. Bisa plus 2, bisa plus 2000. Bisa plus-minus. Mana
yang cocok. Dan yang disebut kemandekan politik, sudah lewat
berabad-abad begitu keadaan pemilu kok masih sama saja.
Pemenangnya yang itu lagi. Yang kalah itu-itu juga. Kampanyenya
masih begitu-begitu pula.
Pertamakalinya diluncurkan, gagasan Kampanye Bersama memang
berhasil jadi kejutan. Tapi tanggapan terhadapnya tidak terlalu
mengejutkan. Beberapa tokoh pemerintah dan Golkar bernada
mendukungnya. PPP dan PDI bernada menolaknya. Rakyat banyak
tidak bernada. Tak sampai seumur laron, ide itu masuk kotak
lagi.
Tapi pada tahun 2000-plus reaksinya berbiak. Prinsipnya Kampanye
Bersama disetujui dengan suara bulat pelaksanaannya, dengan
suara benjol-benjol. Ganjalnya terletak di soal giliran bicara.
Memang, ketiga kontestan hadir bersama, di muka massa yang sama
- massa mengambang maupun tenggelam. Tapi pasalnya sekarang,
kontestan mana yang berhak pidato paling dulu?
Golongan yang dalam pemilu-pemilu sebelumnya selalu menang,
menuntut bahwa merekalah yang berhak. Mereka berpijak pada
konvensi olahraga. Dalam bulutangkis, misalnya, pihak yang baru
memenangkan suatu set, pada set berikutnya diberi giliran
pertama. Dalam sepakbola, pihak yang baru mencetak gol itulah
yang melakukan tendangan pertama. Jadi ini sportif dan merakyat,
sebab badminton dan sepakbola itu sport rakyat.
Partai-partai yang biasanya kalah menolaknya. Mereka
khawatir,kalau-kalau tiba giliran mereka rakyat sudah ngantuk.
Atau, kalau-kalau pembicara pertama langsung membagi-bagikan
kaus sehingga begitu menerimanya massa lantas pulang. Golongan
pemenang tadi dapat memahami kekhawatiran ini. Karena itu mereka
tetap ngotot.
Partai-partai dapat memahami kepahaman golongan pemenang tadi,
karena itu mereka ngotot balik. Keadaan makin meruncing.
Unsur-unsur mengancam keluar dari partai. Partai partai
mengancam keuar dari unsur. Lalu perkaranya mau diadukan ke
DPR. Tapi berhubung crucial pointnya justru menyangkut
keanggotaan DPR, maka semua jadi tambah bingung.
Sampai-sampai pemerintah merasa perlu mengangkat seorang menteri
baru. Yaitu Menteri Muda Urusan Kampanye (Menmudnye), berstatus
interdepartemental, bertanggun jawab langsung kepada Lembaga
Humor Indonesia. Keputusannya drastis. Kampanye Bersama harus
segera diseminarkan.
Dalam sambutan tertulis yang dibacakan sopirnya, Menteri
menghimbau agar para kontestan tak lagi berebut giliran bicara
pertama. Yan harusnya diperebutkan justru giliran terakhir.
Dalam giliran terakhir, ucapan-ucapan pembicara sebelumnya
justru dapat dimanfaatkan guna diserang, tanpa risiko, dibanall
kembali.
Kesempatan bicara terakhir juga merupakan kehormatan. Dalarm
selamatan RW misalnya, giliran sambutan terakhir malah diberikan
Pak Lurah - sehabis tuan rumah, wakil Karang Taruna, Pak RT dan
Pak RW. Tamsil lain, sekelompok tamu yang menghadapi sepiring
kue. Mulanya mereka akan berkeras menahan diri tidak mengambil
duluan kue yang masih berjubel itu. Baru nanti, setelah kue
tinggal satu, tangan-tangan akan balapan meraihnya. Jadi menurut
adat Timur, yang terakhir yang paling berharga.
Panelis pertama tidak setuju dengan pidato pengarahan Menmudnye.
Giliran duluan maupun belakangan, sama saja keduanya masih pakai
rebutan. Padahal raison d'etre Kampanye Bersama adalah menjauhi
rebut-berebut. Jadi tanpa gilir-giliran saja. Namanya Kampanye
Bersama, bicaranya juga bersama-sama, dong. Dan supaya pidato
tidak saling bertubrukan, isi bahkan teksnya pun harus sama.
Naskah yang sama, dipidatokan bersama-sama. Alangkah kompaknya!
Apalagi kalau disajikan dalam paduan suara alto, bariton dan
bas. Alangkah asyiknya! Apalagi kalau diiringi gitar Franky.
Alangkah alangkahnya!
Tetapi panelis lain menyanggahnya. Itu tadi meskipu kelihatannya
rukun, katanya, tapi menjurus ke monopartai. Jadi melanggar
Demokrasi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan Aneka Ria
Nusantara. Maka ia menyodorkan konsep baru yang dinamakannya
Kampanye Pancasila, karena didasarkannya pada lembaga-lembaga
zaman kuno seperti Sepakbola Pancasila dan Ekonomi Pancasila.
Pada zaman itu, konon, apabila Pak Kromo di desa berhajat
membuat rumah, Pak Suto atau Pak Noyo akan menyumbangkan
tenaganya. Sebaliknya bila Pak Suto atau Pak Noyo akan membangun
rumah, Pak Kromo akan rela turut mengerjakan. Jadi sekarang,
calon Golkar harus mengkampanyekan PPP dan PDI, tokoh PPP
mempromosikan Colkar dan PDI, pembicara PDI mengibarkan
panji-panji Golkar dan PPP. Alangkah gotongnya! Alangkah
royongnya!
Pendeknya, banyak ide brilyanberpancarandalam seminar itu. Namun
seminar itu tidak menerurkan kesimpulan apa pun. Memang fungsi
seminar bukan bertelur- kesimpulan, apalagi
pelaksanaan--melainkan menghabiskan sisa anggaran. Maka
kemandekan politik sehabis Pemilu tahun 2000 plus tidak jadi
terusik.
Pemenangnya yang itu lagi, yang kalah itu-itu juga, dan
kampanyenya masih begitu-begitu pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini