Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kampanye Pancasila

Pemerintah dan golkar mendukung ide kampanye bersama, ppp & pdi menolaknya, kampanye bersama menjurus ke monopartai sehingga melanggar demokrasi pancasila. kampanye pancasila konsep baru dicetuskan.

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAME-RAME itu rnulai distater ketika ditemukan sebuah prasasti yang berasal dari abad ke-20. Berkat ditingkatkannya anggaran untuk penelitian, tim dari Fakultas Ilmu-ilmu Benda Kuno Untul (Universitas Tulungagung) berhasil menggali prasasti berupa microfche dari timbunan arsip di petilasan Kantor Gubernur Jawa Timur. Isinya naskah kuno mengenai Kampanye Bersama, yang digubah oleh Adipati di sana menjelang Pemilu 1982. Hasil elskavsi itu dianggap penting, sebab diharapkan dapat menerobos kemandekan politik masa itu. Masa itu adalah tahun 2000-plus. Bisa plus 2, bisa plus 2000. Bisa plus-minus. Mana yang cocok. Dan yang disebut kemandekan politik, sudah lewat berabad-abad begitu keadaan pemilu kok masih sama saja. Pemenangnya yang itu lagi. Yang kalah itu-itu juga. Kampanyenya masih begitu-begitu pula. Pertamakalinya diluncurkan, gagasan Kampanye Bersama memang berhasil jadi kejutan. Tapi tanggapan terhadapnya tidak terlalu mengejutkan. Beberapa tokoh pemerintah dan Golkar bernada mendukungnya. PPP dan PDI bernada menolaknya. Rakyat banyak tidak bernada. Tak sampai seumur laron, ide itu masuk kotak lagi. Tapi pada tahun 2000-plus reaksinya berbiak. Prinsipnya Kampanye Bersama disetujui dengan suara bulat pelaksanaannya, dengan suara benjol-benjol. Ganjalnya terletak di soal giliran bicara. Memang, ketiga kontestan hadir bersama, di muka massa yang sama - massa mengambang maupun tenggelam. Tapi pasalnya sekarang, kontestan mana yang berhak pidato paling dulu? Golongan yang dalam pemilu-pemilu sebelumnya selalu menang, menuntut bahwa merekalah yang berhak. Mereka berpijak pada konvensi olahraga. Dalam bulutangkis, misalnya, pihak yang baru memenangkan suatu set, pada set berikutnya diberi giliran pertama. Dalam sepakbola, pihak yang baru mencetak gol itulah yang melakukan tendangan pertama. Jadi ini sportif dan merakyat, sebab badminton dan sepakbola itu sport rakyat. Partai-partai yang biasanya kalah menolaknya. Mereka khawatir,kalau-kalau tiba giliran mereka rakyat sudah ngantuk. Atau, kalau-kalau pembicara pertama langsung membagi-bagikan kaus sehingga begitu menerimanya massa lantas pulang. Golongan pemenang tadi dapat memahami kekhawatiran ini. Karena itu mereka tetap ngotot. Partai-partai dapat memahami kepahaman golongan pemenang tadi, karena itu mereka ngotot balik. Keadaan makin meruncing. Unsur-unsur mengancam keluar dari partai. Partai partai mengancam keuar dari unsur. Lalu perkaranya mau diadukan ke DPR. Tapi berhubung crucial pointnya justru menyangkut keanggotaan DPR, maka semua jadi tambah bingung. Sampai-sampai pemerintah merasa perlu mengangkat seorang menteri baru. Yaitu Menteri Muda Urusan Kampanye (Menmudnye), berstatus interdepartemental, bertanggun jawab langsung kepada Lembaga Humor Indonesia. Keputusannya drastis. Kampanye Bersama harus segera diseminarkan. Dalam sambutan tertulis yang dibacakan sopirnya, Menteri menghimbau agar para kontestan tak lagi berebut giliran bicara pertama. Yan harusnya diperebutkan justru giliran terakhir. Dalam giliran terakhir, ucapan-ucapan pembicara sebelumnya justru dapat dimanfaatkan guna diserang, tanpa risiko, dibanall kembali. Kesempatan bicara terakhir juga merupakan kehormatan. Dalarm selamatan RW misalnya, giliran sambutan terakhir malah diberikan Pak Lurah - sehabis tuan rumah, wakil Karang Taruna, Pak RT dan Pak RW. Tamsil lain, sekelompok tamu yang menghadapi sepiring kue. Mulanya mereka akan berkeras menahan diri tidak mengambil duluan kue yang masih berjubel itu. Baru nanti, setelah kue tinggal satu, tangan-tangan akan balapan meraihnya. Jadi menurut adat Timur, yang terakhir yang paling berharga. Panelis pertama tidak setuju dengan pidato pengarahan Menmudnye. Giliran duluan maupun belakangan, sama saja keduanya masih pakai rebutan. Padahal raison d'etre Kampanye Bersama adalah menjauhi rebut-berebut. Jadi tanpa gilir-giliran saja. Namanya Kampanye Bersama, bicaranya juga bersama-sama, dong. Dan supaya pidato tidak saling bertubrukan, isi bahkan teksnya pun harus sama. Naskah yang sama, dipidatokan bersama-sama. Alangkah kompaknya! Apalagi kalau disajikan dalam paduan suara alto, bariton dan bas. Alangkah asyiknya! Apalagi kalau diiringi gitar Franky. Alangkah alangkahnya! Tetapi panelis lain menyanggahnya. Itu tadi meskipu kelihatannya rukun, katanya, tapi menjurus ke monopartai. Jadi melanggar Demokrasi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan Aneka Ria Nusantara. Maka ia menyodorkan konsep baru yang dinamakannya Kampanye Pancasila, karena didasarkannya pada lembaga-lembaga zaman kuno seperti Sepakbola Pancasila dan Ekonomi Pancasila. Pada zaman itu, konon, apabila Pak Kromo di desa berhajat membuat rumah, Pak Suto atau Pak Noyo akan menyumbangkan tenaganya. Sebaliknya bila Pak Suto atau Pak Noyo akan membangun rumah, Pak Kromo akan rela turut mengerjakan. Jadi sekarang, calon Golkar harus mengkampanyekan PPP dan PDI, tokoh PPP mempromosikan Colkar dan PDI, pembicara PDI mengibarkan panji-panji Golkar dan PPP. Alangkah gotongnya! Alangkah royongnya! Pendeknya, banyak ide brilyanberpancarandalam seminar itu. Namun seminar itu tidak menerurkan kesimpulan apa pun. Memang fungsi seminar bukan bertelur- kesimpulan, apalagi pelaksanaan--melainkan menghabiskan sisa anggaran. Maka kemandekan politik sehabis Pemilu tahun 2000 plus tidak jadi terusik. Pemenangnya yang itu lagi, yang kalah itu-itu juga, dan kampanyenya masih begitu-begitu pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus