Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Istilah kampungan ini tak ada kaitannya dengan kampung, baik kampung halaman maupun kampung tanpa ada halamannya. Bahkan juga tak mengacu pada perilaku orang-orang yang tinggal di kampung. Kamus bahasa pun menyebutkan istilah ini semata-mata bermaksud mengejek, betapa kolotnya orang atau kurang ajarnya perbuatan yang berlabel kampungan itu. Luhut Binsar Pandjaitan menggunakannya untuk mengejek kegiatan yang disebut operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Jangan hanya nangkap-nangkap, saya bilang kampungan,” kata Luhut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luhut bukan orang sembarangan. Dia adalah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi. Tugasnya mendatangkan investor membuat ia gerah melihat KPK kerap melakukan OTT terhadap para koruptor. Jadi, koruptor itu tak perlu ditangkap tangan? Bagaimana kalau yang ditangkap kakinya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini perlu penjelasan. Koruptor perlu ditangkap. Namun, menurut Luhut, yang dibutuhkan saat ini adalah pencegahan dalam melakukan tindak pidana korupsi. Kalau pencegahan itu dilakukan dengan sistem yang baik, korupsi akan menurun. Jadi, yang ditangkap pun berkurang. Luhut menawarkan cara digitalisasi untuk pencegahan itu.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. sependapat dengan koleganya itu. “Pak Luhut benar. Sebaiknya tak banyak OTT. Tapi dengan syarat, yakni sistem pencegahan yang efektif,” kata Mahfud. Jadi, inti dari semua ejekan dengan istilah kampungan itu adalah pencegahan untuk tidak melakukan korupsi. Adapun inti dari pencegahan adalah sistem pengawasan yang baik dan itu makin canggih karena didukung digitalisasi.
Lalu untuk apa ada KPK? Jika penindakan yang, antara lain, tekniknya lewat OTT itu harus ditiadakan—agar tidak bikin malu negeri ini, seperti kata Luhut—kenapa tidak dibubarkan saja KPK? Urusan penindakan dikembalikan ke kejaksaan dan polisi yang sudah punya aparat penyelidik serta penyidik. Adapun urusan pengawasan untuk pencegahan diserahkan ke instansi masing-masing dan KPK tak diperlukan. Bukankah setiap kementerian dan pemerintah daerah punya instansi yang disebut inspektorat? Ada inspektorat jenderal di setiap kementerian serta inspektorat daerah di tiap kantor gubernur dan bupati/wali kota. Tugas inspektorat ini seragam dari pusat sampai daerah. Salah satunya adalah “melaksanakan pengawasan internal di lingkungan kementerian/instansi terhadap kinerja dan keuangan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya”.
Pengawasan inilah yang tidak jalan. Padahal para pejabat di sana juga diawasi “secara melekat” oleh pejabat yang lebih atas, dalam hal ini bupati, wali kota, gubernur, dan menteri. Justru ironis, ada bupati, wali kota, bahkan menteri yang terkena OTT KPK. Jadi, yang layak disebut kampungan bukan OTT, melainkan para pejabat korup itu.
Mungkin cara berpikir Pak Luhut itu sangat idealis. Kalau sistem sudah didigitalisasi, pencegahan otomatis berjalan. Padahal, secanggih apa pun sistemnya, akan mudah jebol karena yang melakukan korupsi bukan orang-orang kampung—yang selama ini dikesankan bodoh—melainkan para pejabat dengan latar pendidikan yang baik. Di sini masalahnya adalah moral dan, jika mengutip Ketua Umum NasDem Surya Paloh, revolusi mental yang tidak jalan. Kalau bicara idealis dan membayangkan moral yang sudah begitu luhur dari anak bangsa ini, yang dibutuhkan hanyalah kaum agamawan: beri nasihat kepada semua orang bahwa korupsi itu tabiat buruk. Tak perlu inspektorat, jaksa, polisi, apalagi KPK.
Sayang seribu sayang—lagi-lagi mengutip Surya Paloh—situasi kita hari ini belum pada moral seperti itu. Maka, perlu tindakan yang menimbulkan efek jera dan membuat malu koruptor, yakni OTT. Bahwa koruptor tidak juga malu dan tak juga jera, seharusnya ada tindakan yang lebih keras lagi daripada OTT. Jangan takut disebut kampungan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo