Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Partai politik terkesan kurang sigap menghadapi pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Tiada ikhtiar serius menyiapkan penantang calon inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sejumlah partai politik baru menentukan calon pada hari tenggat pendaftaran dan hal itu dilakukan secara terburu-buru lewat serangkaian lobi hingga subuh.
Untunglah, lewat cara instan itu, partai politik masih bisa memunculkan pasangan yang bisa menandingi popularitas sekaligus kualitas Ahok-Djarot Saiful Hidayat. Tampilnya mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan berpasangan dengan pengusaha Sandiaga Uno merupakan kejutan yang menggembirakan. Pasangan yang digotong Partai Gerakan Indonesia Raya dan Partai Keadilan Sejahtera ini digodok di rumah orang tua Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta.
Empat partai lain, yakni Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa, sebelumnya meluncurkan jagoan. Mereka mencalonkan putra mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti, yang digandengkan dengan Sylviana Murni—selama ini menjadi Deputi Gubernur DKI Bidang Pariwisata dan Kebudayaan. Mereka mengumumkan pasangan ini di rumah Yudhoyono di Cikeas setelah gagal membujuk Gerindra dan PKS berkoalisi.
Tak ada ideologi tertentu yang menjalin setiap poros. Koalisi partai lebih didasari kepentingan pragmatis. Yang terlihat justru peran figur Prabowo dan Yudhoyono yang masih menonjol. Poros lain, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Golkar, NasDem, dan Hati Nurani Rakyat, yang menjagokan Ahok-Djarot, juga dibentuk lebih karena kepentingan politik praktis. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri bahkan baru menyatakan dukungan terhadap Ahok-Djarot pada hari-hari terakhir.
Sikap pragmatis dan lambannya menentukan calon itu patut disesalkan. Partai politik semestinya lebih sigap menyiapkan jagonya karena pemilihan kepala daerah DKI merupakan barometer politik nasional. Dua tahun lalu, PDIP berhasil memenangi pemilu legislatif dan pemilihan presiden setelah berjaya dalam pemilihan Gubernur DKI 2012.
Pilkada DKI juga amat penting karena merupakan ujian bagi kematangan demokrasi: sejauh mana rakyat bisa meninggalkan sentimen primordial seperti agama dan ras. Pada pilkada DKI 2014, masalah ini belum begitu teruji lantaran yang menjadi figur sentral tetap Jokowi, bukan Ahok.
Gamangnya menghadapi perhelatan politik yang penting itu menunjukkan betapa lemah fungsi rekrutmen partai. Sudah saatnya partai politik memperbaiki fungsi penting ini dan tidak sekadar menjual tiket pencalonan pilkada. Gejala matinya fungsi rekrutmen sudah muncul beberapa tahun lalu. Partai politik menjadi tidak percaya diri menjagokan kadernya sendiri karena sering kalah.
Golkar, yang sering menjagokan kadernya sendiri, menelan kekalahan di banyak pilkada. Sebaliknya, PDIP justru meraih banyak kemenangan dengan menjagokan tokoh dari luar partai. Dari sekitar 150 pasangan calon kepala daerah yang disodorkan PDIP pada pilkada 2009, misalnya, hanya sekitar 20 persen yang merupakan kader partai.
Fenomena itu seharusnya membuat partai politik lebih mawas diri. Mengusung figur dari luar partai sebetulnya sah-sah saja. Hanya, langkah ini semestinya dilakukan secara sistematis dan disiapkan sejak dini. Partai seharusnya pula menyiapkan dana untuk kampanye calon, bukan malah meminta mahar dari calon yang diusung. Partai-partai juga cenderung menyokong calon yang memiliki banyak duit atau inkumben. Calon inkumben dianggap memiliki modal atau setidaknya mempunyai pengaruh untuk mengumpulkan penyumbang.
Dengan pencalonan yang serba mendadak, calon yang diusung pun memiliki sedikit waktu saja untuk menyiapkan diri. Dalam waktu hanya beberapa bulan, mereka harus mempelajari persoalan Ibu Kota. Pasangan Anies-Sandiaga dan Agus-Sylviana mesti menyiapkan amunisi melawan Ahok-Djarot sekaligus menawarkan program yang lebih baik bagi warga Ibu Kota.
Peluang tetap terbuka lebar untuk mengalahkan Ahok kendati sang inkumben cukup berhasil mengubah Jakarta—dari penataan birokrasi, pembenahan bantaran Sungai Ciliwung, hingga proyek angkutan cepat terpadu. Soalnya, tingkat elektabilitas Ahok masih di bawah 50 persen dalam berbagai survei.
Hanya, kedua pasangan penantang Ahok mesti bekerja ekstra. Dalam waktu singkat, mereka harus mampu meyakinkan publik bahwa mereka bisa mengatasi berbagai persoalan pelik di Jakarta. Pasangan Anies-Sandiaga dan Agus-Sylviana mesti menunjukkan kesiapannya sekaligus resep untuk membikin Ibu Kota jauh lebih baik daripada yang dilakukan Ahok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo