Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Agung baru akan memutuskan kasasi kasus korupsi Akbar Tandjung akhir pekan ini. Orang tak sabar lagi menunggu karena prosesnya sudah lama tertunda. Namun keinginan tahu yang amat besar itu tidak akan mendorong kita mempengaruhi majelis pengadilan kasasi. Tidak ingin, dan sama sekali tidak boleh. Yang menarik untuk diketahui saat ini ialah cara Mahkamah Agung membuat keputusannya. Apakah setiap hakim agung akan menyampaikan pertimbangannya secara tertulis, dan apakah pendapat hakim yang berbeda akan dimuat dalam putusan mahkamah bila permusyawaratan tidak mencapai mufakat bulat. Tentang ini, tak ada larangan untuk ingin tahu.
Kasus korupsi Akbar Tandjung tergolong sebagai kasus akbar, celebrity case. Ini bukan cuma karena uang yang tersangkut korupsi jumlahnya akbar, Rp 40 miliar, tapi juga karena uang itu adalah dana nonbujeter Bulog untuk membantu rakyat miskin. Juga karena yang terlibat adalah pejabat tinggi negara, pemimpin Partai Golkar, dan sekarang Ketua DPR. Kasusnya mengandung banyak keluarbiasaan dan keanehan—dikembalikannya Rp 40 miliar berbentuk uang tunai, padahal sebelumnya dikatakan telah dibagikan sebagai bahan pokok kepada rakyat—dan tergolong seperti disebut dalam sebuah undang-undang pemberantasan korupsi "mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat." Akbar dijatuhi hukuman tiga tahun penjara, dan permohonan bandingnya ditolak Pengadilan Tinggi Jakarta.
Akbar Tandjung, yang kebetulan kini menjadi salah satu calon presiden konvensi Partai Golkar, mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Menurut seorang profesor ilmu hukum pidana, Andi Hamzah, seperti tertulis dalam sebuah bukunya, layaknya pemohon banding dan kasasi seperti Akbar bukan lagi disebut terdakwa karena statusnya sudah menjadi seorang terpidana. Karena kasusnya akbar, orang sukar menahan rasa ingin tahu apakah kasasi terpidana Akbar akan diputus dengan mufakat bulat atau terpecah, terlepas apakah permintaannya dikabulkan atau tidak oleh lima hakim agung yang menyidangkannya.
Dalam perubahan Undang-Undang tentang Mahkamah Agung—yang baru saja disahkan menjadi undang-undang bulan ini—ditentukan bahwa "setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa," juga bahwa "dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan." Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi berfungsi menjaga kesatuan penerapan hukum, agar hukum senantiasa diselenggarakan dengan tepat dan adil di seluruh sistem peradilan. Sebagai stasiun perhentian terakhir bagi pencari keadilan, Mahkamah Agung tidak diizinkan untuk salah dalam memutus perkara.
Karena itu, pertimbangan hakim agung, baik yang mayoritas menyetujui putusan akhir maupun yang berbeda pendapat—dissenting opinion—amat penting dibuat tertulis agar bisa dipertanggungjawabkan dan dipelajari sebagai patokan bagi perkara lainnya. Bila pendapat hukum yang ditulis mutunya tinggi, selain kasusnya akbar, putusan itu bisa dihormati sebagai monumen penunjuk arah dalam hukum, sebuah landmark case dalam tindak pidana korupsi.
Undang-undang juga memerintahkan agar "putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum." Hari-hari ketika para hakim bisa lempar batu sembunyi tangan sudah berlalu. Semua yang dilakukan atas nama keadilan dan kebenaran akan tersimpan catatannya sehingga bisa diteliti kesungguhannya sampai ke generasi anak-cucu para hakim agung: Paulus Effendi Lotulung, Arbijoto, Muchsin, Parman Suparman, dan Abdurrahman Saleh, yang mengadili kasus ini.
Memang ada klausul bahwa pelaksanaan pendapat tertulis hakim agung dan pendapat yang berbeda akan "diatur oleh Mahkamah Agung." Namun belum diadakannya aturan tak bisa menjadi alasan pemaaf untuk melanggar undang-undang. Karena itu, laksanakanlah dalam kasasi Akbar sekarang. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo