Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pertanyaan Sekitar Pembelian Heli Mi-17

Agar heboh Sukhoi tak terulang, pembelian heli Mi-17 perlu dibuka.

8 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAHWA Tentara Nasional Indonesia, termasuk Angkatan Darat, membutuhkan tambahan helikopter angkut, itu merupakan fakta yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Berbagai tugas harus dikerjakan, termasuk operasi keamanan di Aceh, sementara alat angkut pasukan dan logistik semakin terbatas jumlahnya. Kalaupun jumlahnya cukup, suku cadangnya sulit dicari dari pabriknya akibat embargo Amerika Serikat atas peralatan militer dan suku cadangnya sejak 1999. Dalam kondisi begitu, apabila pemerintah dan TNI menoleh ke Rusia, juga jelas alasannya. Negara pecahan Uni Soviet itu masih menyimpan pabrik-pabrik pembuat peralatan tempur yang andal. Dan murah. Bahkan Rusia juga fleksibel dalam soal pembayaran. Tahun lalu Indonesia membeli pesawat tempur jenis Sukhoi dengan sistem imbal beli dengan beberapa jenis komoditas. Belum lama ini terbetik kabar bahwa TNI-AD telah membuat kontrak untuk membeli empat helikopter dari jenis Mi-17. Ini pun jelas argumennya. Kualitas menjadi argumen utama. Kita tahu, dalam hal helikopter, di Rusia ada Mil Moscow Helicopter Plant, perancang sekaligus pembuat 95 persen helikopter tempur Rusia dan negara-negara sahabat Uni Soviet dulu. Dari sanalah diharapkan empat helikopter Mi-17 datang ke Jakarta pada akhir Februari ini. Agar rencana itu berjalan mulus, TNI dan pihak yang bersangkutan dengan pembelian heli ini selayaknya membuat penjelasan segamblangnya agar heboh yang mengiringi pembelian Sukhoi tidak terulang. Penjelasan utama yang harus disampaikan kepada masyarakat melalui parlemen adalah soal prosedur. Kontrak pembelian heli ini ditandatangani oleh Kepala Staf TNI-AD yang mewakili Menteri Pertahanan RI. Penjelasan yang harus disampaikan: mengapa Menteri Pertahanan harus diwakili? Adakah ini karena Menteri Pertahanan masih menderita sakit? Ataukah karena pertimbangan yang lain? Kita tahu bahwa kewenangan pembelian alat tempur memang ada di tangan Departemen Pertahanan, sementara Angkatan Darat atau kesatuan lainnya adalah pihak pengguna yang mengusulkan pembelian. Penjelasan lain yang diharapkan sangat terbuka adalah soal lika-liku pembelian Mi-17 ini. Dikabarkan, pemenang tender pengadaan heli ini adalah perusahaan lokal, yaitu PT Putra Pobiagan Mandiri. Tapi ternyata kontrak pada 19 Desember 2002 itu berlangsung antara pihak RI, yang diwakili KSAD Jenderal Ryamizard Ryacudu, dan perusahaan Singapura, yaitu Swifth Air & Industrial Supply Pte. Ltd. Selanjutnya, Swifth Air Singapuralah yang berhubungan dengan Rosoboronexport Rusia untuk pengadaan heli. Yang perlu dibuat transparan: kenapa PT Putra Pobiagan tidak langsung berhubungan dengan Rosoboron? Yang paling krusial adalah soal pembayaran uang muka. Setelah kontrak diteken, sesuai dengan prosedur, Departemen Keuangan mencairkan uang muka sebesar 15 persen dari kontrak senilai U$ 21,6 juta itu. Jumlah uang muka itu US$ 3,2 juta dan diterima Andy Kosasih dari Swifth Air Singapura. Seharusnya uang ini diteruskan ke Rusia. Tapi itulah yang belum dilakukan Andy. Kenapa? Andy tidak yakin mitra kerjanya sanggup menyediakan 85 persen uang sisa kontrak. Mitra yang dimaksud Andy adalah Alternarig Sdn. Bhd., perusahaan pembiayaan asal Malaysia. Menurut perjanjian, Alternarig akan menyediakan kredit untuk menutup 85 persen dari kontrak dan Departemen Keuangan RI akan mencicil pelunasan pinjaman itu selama enam tahun. Pertanyaan gampang: walau Andy tidak yakin pada kemampuan Alternarig, bukankah dia seharusnya sudah meneruskan uang muka US$ 3,2 juta ke Rusia? Dalam kemelut ini, ada pula kabar bahwa telah terjadi transfer "bodong" alias transfer tanpa duit ke Rusia—tindakan fatal yang membuat Rosoboron mengabarkan bahwa produksi heli sudah dihentikan sementara oleh pabriknya. Majalah ini berpendapat proyek heli ini patut diteruskan, agar misi utamanya tercapai, dan agar uang negara yang sudah keluar juga selamat. Hanya, penjelasan terbuka diperlukan untuk menyelamatkan proyek ini. n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus