Tulisan berjudul Manifestasi Ketersinggungan Perasaan Hakim dalam rubrik Hukum, TEMPO 26 April, perlu ditanggapi karena, baik yurisdiksinya maupun acaranya belum lagi jelas. Itu menyangkut pertama pengawasan serta bimbingan disiplin dan kehormatan profesi- kemudian peradilan disiplin, dan akhirnya pengawasan administratif terhadap advokat dan procureur. Bila kita menggunakan RO sebagai pedoman, maka menurut pasal 192 para advokat dan procureur diawasi (toezicht) dan dibimbing (opzicht) oleh suatu majelis yang terdiri dari majelis hakim (college) yang didampingi dua orang advokat yang khusus diangkat untuk itu oleh pihak eksekutif, yang dapat disebut Majelis atau Dewan Disiplin dan Kehormatan Advokat. Majelis tersebut dapat menghadapkan dan meminta pertanggungjawaban setiap advokat atau procureur: 1. yang menyia-nyiakan kepentingan kliennya 2. yang bersikap tidak sopan terhadap pihak lawan atau wakilnya 3. yang melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban atau dengan martabatnya 4. yang bersikap tidak sopan terhadap pengadilan atau para anggotanya atau terhadap fungsionaris kehakiman lainnya dan 5. yang mengeluarkan ucapan-ucapan yang tidak senonoh terhadap undang-undang atau terhadap kekuasaan umum. Ancaman hukuman terhadap pelanggaran itu dapat berupa teguran, penskoran, atau denda - dan uang denda itu bukan dimasukkan ke dalam Kas Negara, tetapi diserahkan kepada fakir miskin. Dalam tempo 14 hari setelah putusan majelis diucapkan yang bersangkutan dapat mengajukan banding kepada Mahkamah Agung. Di tingkat tersebut perkaranya diperiksa lagi oleh suatu majelis hakim yang didampingi juga oleh dua orang advokat yang khusus diangkat untuk itu. Peradilan yang dijalankan pada kedua tingkat itu disebut peradilan disiplin atau tuchtrechtspraak, bukan peradilan administratif atau lain sebagainya. Lain halnya dengan alinea akhir ketentuan tersebut yang mengatur wewenang eksekutif in casu Menteri Kehakiman memecat seorang advokat atau procureur baik langsung, karena jabatan, maupun tidak langsung melalui usul Mahkamah Agung sendiri atau karena saran pengadilan bawahannya bila yang bersangkutan: 1. Sering melakukan hal-hal yang tercela (herhaalde misdragingen) atau 2. Melakukan perbuatan-perbuatan yang melampaui batas-batas kesopanan (verregaande buitensporigheden). Pengawasan oleh Menteri Kehakiman itulah yang termasuk administratif, yang meliputi pengawasan dan tindak lanjut terhadap perbuatan-perbuatan yang disebut herhaalde misdragingen karena sering ditegur, diskor, atau didenda misalnya, atau verregaande buitensporigheden, karena mabuk-mabukan main, madon, madat, dan sebagainya. Agak sedikit di luar ketentuan perundang-undangan, suatu saran dituangkan dalam putusan sebagaimana halnya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu karena, menurut istilah perundang-undangan, Mahkamah Agung dapat mengajukan (zal kunnen voorbrengen) usul tersebut, tidak perlu dalam bentuk putusan. Menjadi masalah sekarang, apakah telah sesuai dengan rasio daripada ketentuan yang bersangkutan bahwa terhadap suatu usul - meskipun dituangkan dalam suatu putusan - dapat dimintakan banding (hoger beroep). Sebab, bukankah upaya banding dalam hal semacam itu hanya diperkenankan terhadap putusan disiplin yang diambil oleh majelis atau dewan yang disinggung tadi. Selain itu, bila usul itu memang karena suatu penghinaan terhadap pengadilan, yang jelas-jelas kejahatan terhadap penguasa umum, apakah prosedurnya tidak menyalahi KUHAP? Jadi, menurut RO, peradilan disiplin yang dijalankan oleh majelis yang terdiri dari unsur hakim dan advokat, terbatas pada hukuman berupa teguran penskoran, atau denda yang masih dapat diterobos dengan upaya hukum banding. Ini berbeda dengan tindakan administratif oleh Menteri Kehakiman, misalnya, yang sifatnya final. J.Z. LOUDOE Penjernihan IV/11 Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini