Memang menarik mengikuti kasus Dicky, terlebih lagi judul TEMPO, "Dicky: Utang Sampai ke Cicit" (TEMPO, 6 Juli 1991, Hukum). Memang, dalam hukum waris, berlaku asas bahwa bila seseorang meninggal, seketika itu juga segala hak dan kewajiban beralih kepada sekalian ahli warisnya. Namun, jika warisan itu terbuka, seorang ahli waris dapat memilih, apakah ia akan menerima atau menolak warisan. Atau, menerima tapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar utang-utang si meninggal, yang melebihi bagiannya dalam warisan itu. Sehingga, menurut hukum waris, dapat saja ahli waris menolak warisan yang jatuh kepadanya. Hal yang menarik lainnya adalah pernyataan ketua tim pemeriksa kasus Bank Duta bahwa "sesuai dengan ketentuan, kejaksaan akan menagih secara perdata". Negara kita, baik menurut hukum publik maupun hukum privaat, diwakili oleh pemerintah in casu Presiden. Dalam bidang perdata, Presiden yang berhak menunjuk salah satu atau beberapa orang sebagai wakilnya. Misalnya, Menteri Keuangan dalam hal keuangan negara atau advokat negara dalam sengketa internasional. Sehingga pendapat bahwa jaksalah yang mewakili pemerintah, dengan berpegang pada peraturan yang berasal dari tahun 1922, sukar diterima. Karena, pada waktu itu kejaksaan -- dengan sebutan openbaar ministerie -- berada di bawah naungan Departe- ment van Justitie. Di samping itu, pasal 6 ayat 2 RV yang mewakili pemerintah adalah departemen, sedangkan openbaar mini- strie tidak disebut sama sekali. Karena kenyataan itulah, ditinjau dari segi legitima persona standi iniudicio, jaksa belum tentu dapat diterima sebagai wakil yang sah dalam hal gugat-menggugat, terkecuali dalam sengketa perdata lain, di mana jaksa agung telah bertindak sebagai salah satu pihaknya. LINAWATY DJAJA, S.H. Jalan Majapahit 18-20 Kompleks Majapahit Permai Blok B-123 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini