Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kasus Hamzah dan Tiga Sikap yang Mencemaskan

Mundurnya Hamzah Haz dari kabinet menimbulkan kontroversi—dan ada hal yang patut dipikirkan (karena mengkhawatirkan) dari perilaku politik di kalangan atas sekarang.

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hamzah Haz tak lagi di kabinet Gus Dur—dan tiba-tiba tampaklah ada tiga perkara yang patut dicemaskan dari perilaku politik di Indonesia sekarang. Yang pertama tampak dari Presiden Abdurrahman Wahid. Kepala Negara mengatakan kepada publik bahwa Hamzah Haz mengundurkan diri dari jabatan menteri karena ia akan sibuk mengurus partainya, PPP. Ternyata, Hamzah Haz sendiri mengatakan ia belum pernah menyatakan mengundurkan diri. Dari suara orang PPP, yang kecewa dengan lepasnya Hamzah Haz, bisa disimpulkan bahwa alasan "sibuk mengurus partai" itu tak meyakinkan. Kalau Hamzah Haz mundur demi kepentingan PPP, tentunya orang PPP tak akan kecewa, bukan? Belum ada yang menuduh secara terbuka Presiden telah berbohong. Tapi komentar Hamzah Haz dan orang PPP sama halnya dengan mengatakan bahwa Gus Dur tak mengatakan hal yang sebenarnya. Bisakah ini dibiarkan? Bukankah akibatnya akan gawat karena kian sulit mempercayai ucapan Presiden mana yang benar dan yang tidak? Gus Dur tentu saja dapat dibela. Ia tak hendak berterus terang, misalnya, bahwa Hamzah Haz harus meninggalkan kabinet karena diduga korupsi. Dengan kata lain, Presiden ingin melindungi nama baik Hamzah Haz. Tapi, bukankah ada cara yang lebih adil, lebih transparan, dan tak kalah sopan? Presiden, misalnya, bisa mengumumkan bahwa karena ada tuduhan terhadap Hamzah Haz, menteri ini untuk sementara dibebastugaskan. Ia akan diperiksa untuk membuktikan benar atau bohongnya tuduhan itu. Kalau tuduhan itu tak benar, Hamzah Haz akan kembali ke jabatannya. Kalau benar, ia harus dilepas dan ditindak sesuai dengan ketentuan hukum. Bahwa kearifan ini tak tampak, inilah yang mengkawatirkan. Indonesia belum sepenuhnya sembuh dari sikap serba curiga. Republik tak bisa seterusnya dijubeli dengan statemen resmi yang samar-samar dan terkesan tak serius. Perkara kedua yang mengkawatirkan ialah sikap kalangan Poros Tengah. Dalam kabinet yang setidaknya 40 persen dibentuk berdasarkan "perwakilan" kekuatan di DPR ini, kalangan Poros Tengah wajar kecewa. Hamzah Haz diganti oleh seseorang yang bukan dari PPP. Kita tahu bahwa PPP merupakan partai terkuat dalam Poros Tengah. Tapi, untuk menuduh bahwa di balik tindakan Presiden itu ada kekuatan yang mau menggerogoti Poros Tengah (seperti disuarakan oleh anggota DPR Husni Thamrin dan dikukuhkan oleh Amien Rais), itu bisa punya akibat yang serius. Akibatnya bukan saja penyakit serba curiga masa lalu itu akan tak pernah sembuh. Bagaimana pula bisa membuktikan bahwa ada persekongkolan menggerogoti Poros Tengah dari luar? Suara yang menuduh Hamzah Haz datangnya dari kalangan PPP sendiri. Juga suara yang menuduh Yusril Ihza Mahendra, bahwa ia menerima uang dalam politik suap kelompok Habibie, datang secara terbuka dari Fadlizon, seorang tokoh Partai Bulan Bintang. Akibat yang lain dari sikap Poros Tengah lebih mencemaskan: nanti siapa saja (meskipun koruptor) bisa berlindung karena tiap tuduhan pasti ditanggapi sebagai permainan politik kotor. Jika Poros Tengah hendak menegakkan satu moral politik baru, bukankah sikapnya sekarang bisa menjurus ke arah sikap yang mendahulukan ikatan kelompok di atas prinsip untuk tak hendak melindungi siapa pun yang tak bersih? Perkara yang ketiga: sikap PPP sendiri. Orang PPP kecewa kepada tindakan Presiden, tetapi lebih suka menyalahkan kekuatan lain yang misterius. Bahkan tak cukup kuat niat untuk menarik anggotanya dari kabinet. Bukankah akan lebih baik bagi reputasi PPP dan bagi praktek demokrasi jika PPP tak lagi duduk di kabinet dan menyatakan diri sebagai oposisi? Mengapa masih berpikiran "Orde Baru", yang memandang kedudukan di pemerintahan begitu hebatnya hingga harus dipertahankan terus? Untungnya, kata-kata Amien Rais ada yang layak dikutip, untuk situasi kini: "Masalah Aceh, Irian, Ambon sudah di depan mata. Kalau kita eker-ekeran (cakar-cakaran—Red.) satu dengan lainnya hanya karena masalah satu atau dua kursi tidaklah bijaksana".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus