Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Masih Terbuka Dialog untuk Aceh

Peringatan 23 Tahun GAM berlangsung tertib dan memberikan isyarat bahwa masih ada peluang dialog untuk menyelesaikan kasus Aceh.

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada banjir darah di Aceh, Sabtu pekan lalu, tatkala Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merayakan ulang tahunnya yang ke-23. Kalaupun ada insiden, itu tak berarti. Justru yang ada adalah ''banjir doa". Masyarakat Aceh yang tidak ikut larut merayakan HUT GAM mendatangi masjid untuk memohon doa dan membaca surat Yasin. Ini setidaknya memberikan isyarat bahwa masih terbuka peluang dialog untuk menyelesaikan kasus Aceh secara damai. Bahwa rakyat Aceh cinta perdamaian, tak suka kekerasan, dan tak menginginkan lagi jatuhnya korban jiwa, itu tercermin dari keadaan yang relatif tenang ini. Bahwa ada pengungsian besar-besaran, itu karena sebagian masyarakat Aceh berada dalam posisi yang sulit: menaikkan bendera GAM dihajar tentara, sedangkan tidak menaikkan bendera GAM diteror pasukan GAM—walau selalu dibantah para elite GAM . Langkah apa yang semestinya diambil setelah 4 Desember berlalu? Pernyataan-pernyataan yang berkesan ''keras" seperti yang disuarakan oleh pimpinan TNI, misalnya akan melakukan tindakan represif untuk meredam kaum separatis di Aceh, hendaknya dikurangi porsinya. Bukan saja karena Presiden Gus Dur sudah menyatakan akan menarik pasukan non-organik dari Tanah Rencong ini, pihak GAM sendiri sudah menyatakan akan memperjuangkan cita-citanya tanpa kekerasan—suatu hal yang sudah dibuktikannya pada HUT GAM. Tak ada jalan bagi Gus Dur kecuali memerintahkan agar pimpinan TNI menarik kembali pasukan jika tak ada kekerasan. Dalam situasi yang tenang tanpa ada letupan senapan jenis apa pun, aspirasi rakyat Aceh yang menginginkan referendum bisa didialogkan kembali. Referendum seperti apa yang diharapkan masyarakat Aceh dan referendum seperti apa yang dimungkinkan dan dibolehkan dalam negara kesatuan ini, itu harus dipertemukan. Apakah harus ada opsi merdeka, yang berarti jika opsi itu kemudian dipilih sebagian besar rakyat, Aceh terpisah dari republik ini? Kalau opsi itu diperbolehkan, kenapa referendum hanya untuk rakyat Aceh, mengingat negara kesatuan ini dilahirkan oleh segenap tumpah darah rakyat Indonesia seluruhnya? Kenapa rakyat di provinsi lain tidak ditanyai apakah setuju Aceh merdeka? Lalu, jika opsi merdeka itu tidak boleh ada, opsi apa saja yang bisa mengakomodir tuntutan rakyat Aceh? Semuanya bisa didialogkan dengan kepala dingin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus