Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Upaya Menunda Kepintaran si Adik?

Departemen Pendidikan Nasional melarang pengajaran membaca, menghitung, dan menulis di taman kanak-kanak. Sebuah langkah bagus, tapi apakah tidak boleh sekadar memperkenalkan bacaan sembari bermain?

5 Desember 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Raut wajah Rizki masih juga tegang. Ibu Guru belum juga berhenti memberikan pelajaran tentang membaca, menulis, dan menghitung (3M). Meski dalam tahap pengenalan, pelajaran itu cukup merampas keceriaannya. Setiap hari, selama dua jam—meski diselingi kegiatan bermain—Rizki dan teman-temannya harus menyimak berbagai pelajaran. Agaknya, titah Departemen Pendidikan Nasional yang melarang pengajaran baca, tulis, dan hitung bagi murid taman kanak-kanak tidak sampai ke Pondokcabe, Tangerang, tempat anak-anak ini bersekolah. Pelarangan itu, menurut Ahmad D.S., Direktur Pendidikan Dasar dan Menengah, merupakan upaya mengembalikan taman kanak-kanak ke posisinya semula, yakni sebagai persiapan untuk melangkah ke sekolah dasar. "Banyak TK yang telah mengambil porsi dan materi kurikulum sekolah dasar. Kami ingin supaya TK berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam aktivitas kependidikannya," katanya. Dasar pelarangan itu ada pada program kegiatan belajar Kurikulum 1994, yang menetapkan pengajaran semacam itu tidak boleh dilakukan di bangku taman kanak-kanak. Sebenarnya, memberikan pelajaran pada anak-anak balita bukan sesuatu yang buruk. Sebab, seperti kata John Locke, filsuf kenamaan, masa balita merupakan saat yang paling baik untuk belajar segala sesuatu. Pengajaran itu akan melekat lebih lama dalam memori mereka. Cuma, cara penyampaiannya perlu hati-hati dan harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan sang anak. Jadi, hendaknya, pengajaran itu tidak dengan cara yang dipaksakan. Tokoh pendidik Romo J. Drost, S.J. me-nyatakan, cara yang tepat mendidik anak-anak adalah dengan menggunakan model Ibu Kasur atau Froebel yang dikembangkan di Jerman. Model itu banyak menekankan pola bermain sambil mendidik. "Bukan memberikan pekerjaan rumah dengan target anak bisa membaca. Itu namanya pemaksaan," katanya. Bila pemaksaan itu terus berjalan, romo asal Belanda ini mengusulkan sebaiknya pemerintah menghapus jenjang taman kanak-kanak itu. Sebab, pendidikan awal tidak harus dari tingkat TK atau play group tapi justru dilakukan di rumah dengan bimbingan orang tua. Namun, kalau penyelenggara pendidikan taman kanak-kanak itu tetap nekat mengajarkan 3M, ia menyarankan agar guru TK setidaknya lulusan sekolah pendidikan guru, yang dapat mengerti perkembangan sang anak. Banyaknya TK yang nekat mengajarkan 3M tak lain karena desakan orang tua, yang menginginkan agar anak-anaknya lebih siap dalam meneruskan pendidikannya ke sekolah dasar. Bila kemauan itu tidak dipenuhi, pihak penyelenggara TK bisa-bisa gulung tikar. "Alasan tuntutan itu, umumnya para orang tua takut nanti anaknya ketinggalan di SD," kata Felicitas Maya, Kepala Sekolah TK Ricci Bintaro, Jakarta Selatan. Taman kanak-kanak yang dipimpinnya ini pernah melakukan "dosa" semacam itu beberapa tahun silam. Mereka memberikan pengajaran baca, tulis, dan hitung seperti layaknya di tingkat SD, malah juga memberikan pengenalan bahasa Inggris. Setelah memperbaiki sistem belajar di sekolahnya, saat ini mereka lebih menekankan pada sosialisasi anak-anak untuk bergaul, mandiri, dan mengembangkan inisiatif. "Karena, terus terang, saya pribadi merasa kasihan kepada murid yang sudah dijejali materi demikian banyak dan diberi pekerjaan rumah," katanya. Sedangkan bagi TK Al Azhar I Jakarta Selatan, pelarangan itu tidak membuat mereka berhenti melakukan pengenalan materi tersebut kepada murid-muridnya. Tampaknya, memang itu dilakukan sesuai dengan metode yang mendorong, bukan memaksa anak. Menurut Kepala Sekolah TK Al Azhar I, Maria Siti, motivasi yang dimaksud pengajaran di sekolahnya adalah memberikan permainan kepada anak-anak dengan cara menempelkan huruf atau bernyanyi tentang huruf. Untuk memberikan pengenalan terhadap cara membaca, murid-muridnya dilatih menyebutkan huruf. Jadi, sebetulnya yang dipermasalahkan sebaiknya bukan "pelarangan membaca" (bagaimana bisa makhluk hidup dilarang melakukan sesuatu yang begitu menyenangkan seperti membaca), melainkan bagaimana mengajar membaca menjadi suatu permainan yang menyenangkan. Untuk itu, sebaiknya Departemen Pendidikan Nasional bukan melarang tetapi memberi panduan proses pengenalan metode 3M itu. Tentu saja, salah satu tujuannya, agar Rizki bisa kembali ceria, membaca A, B, C sebagai suatu permainan yang menyenangkan. Irfan Budiman, Dwi Arjanto, Upik Supriyatun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus