Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Telor opo maringka

Pembangunan di ratahan, minahasa, tersendat. berpenduduk 18.000 jiwa. tiap desa memiliki perkumpulan musik maengket. bendungan nauten, proyek pmd 1970 kekeringan karena saluran induk tak dibuat.

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Zaman Belanda Manado berbentuk sebuah keresidenan. Meliputi daerah Minahasa dan Manado sendiri keresidenan ini lembaga dalam 7 distrik. Satu di antara distrik itu adalah Ratahan di bagian timur Minahasa. Tapi sekarang Ratahan telah dipecah menjadi 3 kecamatan: Ratahan sendiri Tombatu dan Belang. Sebagai tempat kedudukan camat hingga sekarang Ratahan tak banyak berubah. Artinya masih sulit mendudukkannya pada tempat yang pas. Mau disebut desa ternyata Ratahan juga berstatus sebagai bendar yaitu gabungan 3 buah desa desa Wawali. Tosuraya dan Lowu. Selain itu sebagai ibu kecamatan, ada pula 8 bulan desa dibawahinya. Tapi jika mau disebut sebagai kota, sebagai kota kecilpun agaknya belum pantas. Dengan penduduk 18.000 lebih kecamatan bekas distrik ini memang terbilang bungsu dibanding keenam bekas kota distrik lainnya di Minahasa. Namun bagaiamanapun juga desa atau kota ini atau apapun sebutannya yang tepat, memiliki areal sawah seluas 1.000 hektar lebih, menghasilkan sekitar 200 ton kopra sebulan dan cengkeh rata-rata 5 ton tiap tahun. Seluruh kecamatan ini sendiri berareal 160,60 km. Walaupun hanya berjarak 60 km dari kota Manado dan belum juga terjangkau aliran listrik PLN, tapi orang-orang Minahasa faham benar bahwa karena kemakmurannya, penduduk Ratahan sanggup berpesta 3 hari 3 malam untuk sebuah perkawinan misalllya. "Dan tak ada yang sampai menjual tanah atau kebun", kata W.K. Rumenser. Camat Ratahan. Katanya pula, "semua ini boleh jadi karena sifat gotong-royong yang sangat kuat di kalangan orang Ratahan". Cara-cara hidup yang tradisionil juga masih melekat di kalangan warga Ratahan. Begitu yula kepercayaan terhadap yang gaib-gaib. Hampir segala gerak-tindak penduduk di kampung-kampung diiringi berbagai pantangan yang sangat tabu. Kematian Debora. anak perawan Komandan Polisi setempat dengan bunuh diri lewat pestol ayahnya (TEMPO 24 April 1976), konon karena menyentuh hal yang amat tabu. Maengket Tapi jangan dilupakan dengan cara hidup demikian itu pula, "kebudayaan asli penduduk Katahan tumbuh subur tanpa dibina" sebagai dituturkan Rumenser. Contohnya, perkumpulan musik bambu yang sering muncul sebagai juara Sulawesi Utara semuanya berasal dari sini. Tiap desa di sini memiliki klab musik bambu atau Maengket yang sudah sulit ditemukan di tempat lain di Minahasa. Lebih dari itu, dari Ratahan ini pula muncul guru-guru musik yang kenamaan di Minahasa. "Bukan itu saja, tokoh-tokoh parpol pun banyak berasal dari sini", tambah sang camat meski pun dalam pemilu baru lalu kawasan ini nyaris bebas parpol. Jika dinilai Ratahan agak tertinggal di bidang pembangunan, tentu tak seluruhnya karena warganya yang masih tradisionil itu. "Pembinaan dan pengarahan kemampuan rakyat itu sangat pokok", tutur Rumenser yang baru saja jadi camat di sini. Dia mengambil contoh, "bagaimana mau maju jika membangun pagar saja harus pakai aturan adat". Misal lain. Gedung gereja yang sudah cukup tua di sini telah lama hendak dipugar. Walaupun pengumpulan dana untuk itu sudah menjangkau warga-warga Katahan di perantauan, namun niat itu belum juga terlaksana. Lalu ada pula sebuah bendungan bernama Nauten. Proyek PMD propinsi ini dibangun tahun 1970 dengan biaya puluhan juta. Sial, bendungan yang sesungguhnya dapat mengairi 1000 hektar sawah ini sia-sia belaka, karena saluan induknya tak dibuat. Untung belakangan ini sebuah tim peneliti sedang mengitari desa-desa untuk mengumpulkan data mengenai potensi dan keinginan para warga. Tapi jika sekarang sedang dibangun sebuah patung Opo Rotulong Maringka, harap jangan dituduh penduduk Katahan latah berpatung-patung. Tentu patung ini dimaksudkan sebagai pembangkit semangat leluhur. Sebab Opo Maringka dianggap tak lain pendiri latahan. Di tempat monumen itu terdapat sebuah batu yang selama ini dikeramatkan penduduk. Menurut sahibul kisah, batu ini telah beranak-pinak, dipancangkan oleh Opo Maringka sebagai awal berdirinya kampung Ratahan. Ratusan tahun nan silam. Telur yang digenggam sang Opo ketika bertapa, tutur kisah itu lagi, kemudian menetas dan lahirlah seekor ayam jantan. Sang ayam pun berkokok: ta . . ta . . an, ta . . ta . . an. Lalu dinamakanlah kampung itu Ratahan. "Sekarang telur orde baru yang menetas di sini", kata Rumenser.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus