Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gejala populisme ala Trump mengancam demokrasi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Dari persidangan Donald Trump, kita belajar bagaimana proses hukum seharusnya berjalan.
Sebagian besar ciri Trumpisme ini terlihat dari kelakuan elite politik Indonesia.
Sidang dakwaan yang dijalani bekas Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, memberi pesan bahwa semua orang harus tunduk pada supremasi hukum, termasuk bekas presiden sekalipun. Gejala populisme ala Trump, yang juga menjangkiti elite politik kita, telah merusak pluralisme dan mengancam demokrasi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menghadapi 34 dakwaan pada Selasa, 4 April lalu, Trump adalah bekas Presiden Amerika Serikat pertama yang menghadapi tuntutan pidana. Ia antara lain dituduh memalsukan catatan bisnis demi menyembunyikan pelanggaran Undang-Undang Pemilihan Umum selama kampanye pada 2016. Trump dituntut mempertanggungjawabkan semua perbuatannya karena tindakan ilegal itu telah merusak integritas pemilihan umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari persidangan itu, kita belajar bahwa begitulah proses hukum seharusnya berjalan. Tidak ada individu, termasuk bekas penyelenggara negara, punya kedudukan di atas hukum. Tanpa memandang status dan latar belakang, setiap orang memiliki derajat yang sama di hadapan hukum dan semua warga negara wajib mematuhinya. Mereka juga memiliki kesetaraan untuk memperoleh keadilan.
Proses persidangan itu juga menunjukkan tidak boleh ada perlakuan khusus bagi individu atau mantan pejabat bila kelak terbukti melakukan kejahatan. Hukum bukan untuk dibengkok-bengkokkan demi kepentingan penguasa atau melindungi bekas pejabat negara dan kroninya. Celakanya, gejala ini yang sering terjadi di Indonesia.
Tak bisa dimungkiri, Trump menjadi catatan kelam dalam sejarah panjang demokrasi Amerika. Trumpisme—sebutan untuk ideologi politik yang dikaitkan dengan Donald Trump serta para pendukungnya—tidak hanya merusak demokrasi di negeri itu, tapi juga menebar ancaman bagi kelangsungan demokrasi di negara lain. Meski ikut berkompetisi dalam sistem demokratis seperti pemilihan presiden, Trump menggunakan segala cara untuk meraih kekuasaannya.
Trump cenderung memutarbalikkan logika dan rasionalitas, serta memendam kebencian kepada kelompok intelektual. Ia juga rasis dan merendahkan kaum perempuan. Bagi Trump, bahasa hanya dipakai untuk menghasilkan efek artifisial. Tujuan dari bahasa bukan lagi untuk mendiskusikan dan mempertahankan gagasan politik dalam sebuah sistem demokrasi.
Tidak hanya itu. Trumpisme mendelegitimasi sebuah proses demokrasi. Pernyataan Trump yang kontroversial merusak kepercayaan publik terhadap sistem politik dan institusi negara. Presiden Amerika ke-45 ini bahkan menuduh media mainstream sebagai fake news dan menyebarkan propaganda yang mempengaruhi opini publik.
Seolah-olah menjanjikan keadilan bagi rakyat kecil, Trump mengadopsi retorika populisme dengan mempolitisasi ketakutan warga Amerika terhadap kehadiran imigran. Bagi Trump, kepentingan nasional harus di atas segala-galanya. Bersama para pendukungnya, Trump juga menentang perubahan sosial yang dianggap menabrak nilai-nilai konservatif, seperti pengakuan terhadap hak kaum LGBT. Sepak terjang Trump ini telah menjadi inspirasi bagi kelompok politik sayap kanan di Eropa.
Meski bukan faktor satu-satunya, wajar bila Trumpisme dianggap sebagai salah satu yang merusak demokrasi Amerika. Insiden penyerbuan Capitol Hill pada Januari 2021 merupakan contoh nyata bagaimana populisme yang dinarasikan Trump berhasil menghasut pendukungnya untuk menolak hasil pemilihan presiden. Ia bahkan tak malu mendorong aksi kekerasan agar tetap berkuasa.
Sebagian besar ciri Trumpisme ini juga terlihat dari kelakuan elite politik Indonesia. Maka, menjelang tahun politik, sudah sepantasnya kita juga waspada terhadap pemimpin yang lihai mengaduk-aduk emosi publik dengan gaya populisnya. Di balik populisme pemimpin seperti itu, ada kepalsuan yang kerap mereka sembunyikan.
**
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo