Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini bukan zamannya lagi pejabat suka menyodorkan surat pendek. Praktek yang dianggap lumrah pada era pemerintahan Soeharto ini perlu dihindari demi mempercepat upaya pemberantasan korupsi. Sebab, dalam kebiasaan buruk itu hampir selalu terkandung penyalahgunaan wewenang yang merugikan negara.
Surat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral adalah contoh katebelece yang kebetulan terungkap. Tertanggal 23 Desember 2005, surat ini ditujukan kepada para direktur utama sejumlah perusahaan tambang milik pemerintah dan swasta. Yang menekennya adalah M.S. Marpaung, seorang direktur, atas nama Dirjen Simon F. Sembiring.
Isinya? Sebuah imbauan agar mereka menyumbang dana untuk perhelatan balap mobil A1 Grand Prix yang akan digelar di sirkuit Sentul, Jawa Barat. Tak lupa, dalam surat dicantumkan nomor rekening atas nama A1 Team Indonesia di sebuah bank. Tiga hari sebelumnya, Pak Dirjen juga telah mengumpulkan mereka di kantornya untuk mendengar presentasi dari panitia balap mobil.
Begitu besarnya keterlibatan pejabat Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dalam urusan balap mobil. Balapan antarnegara ini memang penting karena Indonesia menjadi tuan rumah. Hanya, bisa dipastikan Departemen Energi bukanlah instansi yang mesti mengurus pembiayaannya. Semestinya pula panitia balap mobil A1 melakukan pendekatan secara langsung kepada perusahaan-perusahaan itu untuk mendapatkan sponsor. Jika merasa memperoleh manfaat promosi yang besar, mereka tentu tidak pelit mengeluarkan duit.
Rupanya persiapan yang mepet, hanya dua bulan, membuat panitia mengambil jalan pintas. Inilah yang mengundang kritik. Ada kesan, panitia memanfaatkan pejabat di Departemen Energi. Apalagi yang menjadi ketua panitia balap mobil A1 di Indonesia adalah Donny Yusgiantoro, adik kandung Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Tindakan sang Menteri dan bawahannya pun tidak bisa dibenarkan kendati Purnomo menyatakan pengumpulan sumbangan bersifat sukarela. Bukan saja tidak pantas, mereka bisa dinilai telah menyalahgunakan wewenang. Padahal rambu-rambu telah diatur dalam Undang-Undang No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih. Dinyatakan, para pejabat tidak boleh melakukan kolusi, yakni bekerja sama dengan pihak lain yang merugikan negara. Mereka juga dilarang menerapkan nepotisme, membantu keluarga atau kroninya. Si pelanggar diancam sanksi administrasi dan hukuman pidana sampai 12 tahun penjara.
Itu sebabnya Komisi Pemberantasan Korupsi perlu memeriksa para pejabat yang terlibat di departemen tersebut. Mereka juga bisa dijerat dengan pasal korupsi karena perbuatannya berpotensi merugikan negara. Soalnya, sebagian perusahaan tambang yang dimintai sumbangan adalah milik negara. Sekalipun tidak memetik keuntungan dari tindakannya, mereka tetap bisa dianggap melakukan korupsi. Ini diatur dengan jelas dalam Undang-Undang No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Korupsi.
Kepedulian membantu penyelenggaraan olahraga adalah sikap mulia. Tapi pejabat di Departemen Energi memiliki tugas dan kewenangan tersendiri. Jika keduanya dicampuradukkan, yang terjadi adalah penyalahgunaan wewenang. Dan sekecil apa pun kerugian negara yang muncul, tindakan seperti itu perlu dibasmi demi mewujudkan pemerintahan yang bersih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo